RUU Tembakau Jangan Dilanjutkan

Indriyani Astuti
07/3/2017 09:08
RUU Tembakau Jangan Dilanjutkan
(ANTARA/Irsan Mulyadi)

PEMERINTAH diminta mengambil sikap tegas dengan menolak pembahasan rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pertembakauan. RUU tersebut telah masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.

RUU tersebut, oleh sejumlah pihak, dianggap lebih pro terhadap industri rokok karena bertujuan meningkatkan produksi rokok demi kepentingan bisnis. Hal itu dinilai bertentangan dengan perlindungan kesehatan masyarakat, salah satunya dalam upaya menurunkan prevalensi jumlah perokok.

Perwakilan dari Solidaritas Advokat Peduli Pengendalian Tembakau Indonesia, Julius Ibrani, mengatakan ada kejanggalan prosedur dan substansi dalam RUU Pertembakauan.

"Salah satunya copy paste ketentuan yang ditolak di RUU Kebudayaan mengenai tembakau muncul dalam RUU ini," ujarnya dalam diskusi bertema <>Apa keputusan pemerintah terhadap RUU pertembakauan? di Jakarta, kemarin (Selasa, 6/3).

Selain itu, ujarnya, proses legislasi mengenai tembakau di DPR diwarnai banyak kejanggalan. Misalnya, pada 1992 dan 2009, saat RUU Kesehatan dibahas, ada ayat yang dihilangkan, yakni muatan nikotin sebagai zat adiktif.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Hasbullah Thabrany berharap pemerintah berpihak kepada kesehatan masyarakat, khususnya mengenai dampak yang ditimbulkan rokok. Apabila tujuannya mendapatkan cukai dari peningkatan produksi dan penjualan rokok, pemerintah harus menghitung secara cermat efeknya di masa datang.

"Pendapatan yang diperoleh dari cukai rokok tidak sebanding dengan beban biaya yang dikeluarkan akibat berbagai penyakit yang ditimbulkan rokok. Kita tahu pengeluaran terbesar Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terserap untuk penyakit-penyakit katastropik, di antaranya diakibatkan rokok," tegas dia.

Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan pemerintah seharusnya membuat regulasi nasional terkait dengan pengendalian tembakau. Dalam periode 2010 hingga 2015, katanya, di Indonesia terjadi peningkatan jumlah perokok dari semula 56% menjadi 76%. Kondisi itu sangat mengkhawatirkan.

"Peningkatan perokok terjadi pada anak-anak dan usia remaja. Jadi yang disasar orang-orang berusia produktif," tuturnya.

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, 2010, dan 2013, tren perokok usia remaja meningkat, terutama pada kelompok umur 10 hingga 14 tahun dan 15 sampai 19 tahun.

Intervensi industri
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan mengatakan RUU Pertembakauan muncul atas inisiatif DPR. Ia mengingatkan jangan sampai regulasi muncul didasarkan atas intervensi pihak industri rokok yang sangat berkepentingan dengan keberadaan RUU itu.

"Gejala intervensi sudah terlihat dari hilangnya ayat mengenai tembakau dalam RUU Kesehatan pada periode lalu," tukas Ade.

Sementara itu, Pembaharu Muda binaan Yayasan Lentera Anak mengadukan iklan rokok terselubung di sejumlah stasiun televisi kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Iklan itu ditayangkan di luar waktu yang ditentukan, yaitu pukul 21.30 hingga 05.00.

Pembaharu Muda asal Jakarta, Citra Demi Karina, di Kantor KPI, Jakarta Pusat, kemarin, mengatakan 20 Pembaharu Muda di 17 kabupaten/kota melakukan pemantauan pada 1 hingga 3 Maret lalu dan menemukan 22 titik iklan yang menampilkan logo rokok di luar ketentuan jam tayang. (Ind/Ant/H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya