Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PETANI dari daerah Magelang, Jawa Tengah, saat ini boleh tersenyum lega. Tingginya harga cabai terutama jenis rawit merah di pasaran membuat mereka memetik buah manis keuntungan yang besar.
Keuntungan tinggi juga diiringi dengan mengecilnya biaya produksi dari tanam hingga panen. Proses produksi yang biasanya melibatkan tenaga buruh dengan bayaran cukup tinggi sekarang bisa dikerjakan secara bergotong royong oleh warga secara bergiliran.
Hasil panen kemudian dikumpulkan untuk dilelang. Dengan demikian, pasokan cabai ke pengepul di daerah terputus dan harga jual cabai dari petani tetap stabil.
Upaya menjaga harga stabil tinggi di tingkat petani tak lepas dari peran kaum muda dari Dusun Tanggulangin, Desa Girikulon, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang. Pelopornya ialah Tunov Mondro Atmodjo, 35, warga setempat.
Bersama rekannya yang menjadi Kepala Desa Girikulon, Asdat Imam Ukir, mulai 2015 Tunov menggalang kalangan muda di desanya. Mereka diajak untuk bergerak menjaga cabai hingga harga dan pasokannya tetap stabil.
Dituturkan Tunov pada Jumat (13/1), bukan perkara mudah menggugah kesadaran warga daerahnya yang sebagian besar petani mengenai konsep bertani cabai yang ada dalam pikirannya. Setiap pertemuan dengan warga dan kalangan muda, ia selalu menyelipkan pengetahuan dan wawasan berdagang cabai. Selama ini, harga cabai dimainkan bandar atau mafia besar.
Ketika harga tinggi, petani tidak menikmatinya. Bahkan kerap kali di tingkat petani, harga cabai sempat terjun bebas. "Sebelumnya petani cabai sangat egois. Jika tanaman milik temannya terserang penyakit dan mati, yang lain malah senang karena panen cabainya sukses dan terjual dengan harga tinggi," kata Tunov.
Di waktu lalu, biasanya para pengepul langsung mendatangi rumah-rumah petani untuk mencari dan membeli cabai. Ada pula tengkulak yang telah memberikan pinjaman uang terlebih dulu pada petani, kemudian setelah panen tinggal mengambilnya dengan harga sesuka mereka.
"Sekarang kami bersama-sama, bergotong royong. Kalau ada tanaman cabai yang mati, diobati bersama. Kalau ada yang sakit, tidak bisa menyemprot tanaman cabainya, yang punya waktu akan membantu menyemprotkan. Hasil panen juga harus dikumpulkan di satu tempat, yakni kelompok tani, kemudian dilelang, sehingga harganya tetap terjaga dan petani tidak rugi," kata dia.
Bergotong royong
Pembibitan hingga pascapanen, kata Tunov, dilakukan secara bersama-sama dan bergotong royong secara bergiliran dari satu ladang ke ladang lainnya. Dengan demikian, ongkos produksi dari membayar tenaga kerja sedikit terkurangi. Hasil yang diterima petani pun lebih banyak.
Disebutkan, biaya tanam cabai di lahan seluas 1 hektare berisi 15 ribu batang tanaman cabai mencapai Rp75 juta. Dari jumlah itu, sekitar 30%-nya untuk membayar tenaga kerja. Biaya sarana produksi (saprodi) seperti bibit, pupuk, dan obat pertanian sekitar Rp40 juta-Rp50 juta.
Mahalnya harga saprodi yang nyaris tidak terkendali ini juga menjadi salah satu pemicu tingginya harga cabai. Kemudian tiap satu pohon cabai rata-rata menghasilkan 120 biji cabai atau seberat sekitar 3 ons. Satu kilogram cabai dipasok dari tiga pohon cabai.
Jika biaya produksi satu pohon Rp5.000, 1 kg butuh biaya produksi Rp15 ribu. Biaya tersebut mesti dihitung dengan variabel kegagalan, yakni dengan risiko kegagalan 20% pada musim normal dan 50% pada musim hujan. "Sebelumnya petani kurang menghitung ini dan memasukkan variabel kegagalan pada penghitungan biaya produksi sehingga hasilnya pasti kurang," kata dia.
Gerakan pemuda yang dikembangkan Tunov dan rekan-rekannya di desa untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan cabai dilakukan dengan mengikuti budaya lokal.
Mereka juga berusaha tidak melakukannya secara frontal sehingga tidak mendapat perlawanan dari petani senior. Malah mereka ikut bergabung bersama kalangan muda menjaga cabai.
"Kerja bersama saat ini juga dilakukan dengan menjaga di kebun-kebun cabai agar cabai yang sedang mahal harganya tidak dicuri orang. Kemarin ada satu pencuri yang tertangkap juga di kebun," ujar dia.
Gerakan kalangan muda menjaga cabai ini juga sudah mulai dilirik berbagai kalangan. Pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian malah sudah mengalokasikan bantuan untuk 5 ha tanaman cabai dan irigasi tetes untuk Kecamatan Secang.
Pada 2016 bantuan bertambah menjadi 175 ha saprodi, tiap hektare senilai Rp26 juta. Lalu pada 2017 bantuan ditingkatkan menjadi Rp30 juta per ha saprodi untuk 225 ha lahan hortikultura di Magelang.
Saat ini, gerakan yang dibangun kalangan muda di Desa Girikulon mulai dicontoh desa lainnya dan menyebar ke 10 kecamatan, yakni seluruh Secang, Grabag, Pakis, Tegalrejo, Dukun, Srumbung, Salam, Kajoran, Windusari, dan Sawangan.
Sejak 2016, 10 kecamatan itu malah menjadi pemasok cabai untuk keperluan operasi pasar di sejumlah daerah oleh Kementerian Pertanian jika harga cabai tinggi.
Pada 2016, OP cabai dilakukan tiap hari sejak Oktober hingga Desember di Jakarta dengan harga Rp15 ribu per kg. Pada 2017, OP dilakukan di Samarinda, Jakarta, dan Bali. Cabai di tiga daerah itu yang di pasaran sudah mencapai kisaran Rp200 ribuan per kg, dalam OP hanya dijual Rp25 ribu per kg. Kuota OP dari 10 kecamatan di Magelang mencapai 3 kuintal hingga 1,5 ton cabai rawit merah per hari.
Catur, 30, warga lainnya, mengaku bergabung dengan gerakan muda untuk menjaga cabai tersebut sejak dua tahun terakhir. Terkadang ia bersama rekan-rekannya membantu menanam cabai, penyemprotan, hingga panen di ladang-ladang yang membutuhkan. Untuk kerja tersebut, ia tidak menerima bayaran dari petani. Hanya secangkir teh dan camilan saja. Namun, ia mengaku merasa senang bisa melakukan itu bersama-sama warga lainnya. Catur juga menanam 3.000 pohon cabai di lahannya seluas 1.000 meter persegi.
Saat membutuhkan, ia juga menerima bantuan dari warga lainnya, yakni saat tanam, semprot, dan panen. Dengan demikian, tidak ada anggaran tenaga kerja yang ia keluarkan.
Siti Khadijah, 50, petani lainnya di desa tersebut, mengaku sangat terbantu. Biasanya ia harus mengeluarkan anggaran Rp50 ribu per orang per hari untuk membayar tenaga kerja yang membantu di kebunnya. Dari 2.000 meter persegi lahan yang dimilikinya, biasanya ia membutuhkan enam tenaga kerja. "Sekarang harga cabai dari petani Rp76 ribu per kg, bisa kami terima lebih banyak karena karena tidak ada ongkos tenaga kerja. Semua dilakukan gotong royong," kata dia.(Tosiani/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved