Kepatuhan Bayar Iur BPJS hanya 10%

Indriyani Astuti
26/12/2016 08:38
Kepatuhan Bayar Iur BPJS hanya 10%
(ANTARA/Indrianto Eko Suwarso)

KOLEKTIBILITAS iur peserta terus diupayakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Hingga kini kepatuhan pembayaran iur, terutama pada peserta BPJS Kesehatan, hanya mencapai 10% dari total 172 juta anggota. Jumlah itu disebut Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi cenderung kecil.

“Dari situ sekian persennya belum begitu (taat) alasannya bisa lupa atau kurang mampu. Karena itu, kami juga minta pemerintah daerah mengintegrasikan JKN dengan kartu Indonesia sehat (KIS),” ujarnya ketika dihubungi, kemarin.

Ia menjelaskan, karena BPJS Kesehatan merupakan program yang didukung penuh pemerintah, hampir 90% iur peserta JKN yang bukan merupakan peserta mandiri dibayarkan pemerintah.

Sementara itu, upaya BPJS untuk memaksimalkan kepatuhan pembayaran iur ialah dengan memperluas kanal pembayaran. Dengan demikian, itu mempermudah masyarakat. “Kita berupaya dengan memperluas kanal pembayaran baik melalui ATM, bank, pos, termasuk kerja sama dengan pemerintah daerah (pemda). Kalau ditemukan masyarakat peserta BPJS mandiri ternyata tidak mampu membayar iuran tiap bulannya, jaminan kese-hatannya dialihkan pemda jadi dikover pemerintah.”

Pada 2017 mendatang, diharapkan kepesertaan BPJS kesehatan bisa lebih luas. Salah satunya, mengintegrasikan Jaminan Kesehatan Daerah atau KIS dengan JKN.

Untuk itu, BPJS Kesehatan ber-koordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri agar memberikan imbauan kepada para kepala daerah. Pasalnya, masih ada sekitar 100 lebih pemda yang belum mengintegrasikan program jaminan kesehatan daerah dengan JKN ataupun KIS.

Biaya Pribadi
Dari hasil kajian Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan (CHEPS) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 10% pasien di Forum Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) masih mengeluarkan biaya pribadi.

Proporsi responden yang mengeluarkan biaya pribadi untuk obat paling tinggi terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan, 78,6%, Jawa Barat 54,3%, dan Jawa Tengah 50%.
Dalam penelitian itu disebutkan masalah obat masih menjadi aspek keluhan terbesar dari peserta JKN karena kompleksnya jalur distribusi.

“Permasalahan terkait dengan obat tidak hanya karena ketiadaan di rumah sakit, tetapi juga dari industri, tender e-Catalog, LKKP, Kemenkes, dan rumah sakit yang di dalamnya dokter instalasi apoteker yang belum tentu matching,” tutur Guru Besar Bidang Ekonomi Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, dalam acara Kaleidoskop CHEPS UI di Jakarta, pekan lalu.

Direktur Tata Kelola Obat Publik dan Perbekalan Kementerian Kesehatan Engko Sosialine Magdalene mengakui 2016 memang banyak masalah dalam hal pengadaan obat.

Engko menjelaskan banyak obat yang belum masuk daftar Formularium Nasional, tapi Kemenkes telah membuat mekanisme bagi rumah sakit dan dinas kesehatan untuk mengirimkan usulan perubahan daftar obat.

“Setiap usulan harus dilengkapi evidence based dan nanti akan dibahas di Kemenkes dengan melibatkan organisasi profesi,” tukas Engko. (H-5)

indriyani@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya