Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
NUN jauh di pinggiran Auckland, sentra perekonomian Selandia Baru, ada sebuah gedung teater Te Pou. Dari luar, sekilas itu tampak bak gudang besar.
Te Pou Theatre bukan teater biasa. Didirikan Tainui Tukiwaho dan beberapa rekannya, gedung teater itu berfokus kepada komunitas suku Maori, suku asli Selandia Baru. “Tempat ini untuk menjawab kebutuhan masyarakat kami (Maori),” kata Tainui dalam sesi workshop bersama peserta Pegiat Budaya 2016 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), medio November lalu.
Visi itu disebutnya sebagai kaupapa, pilar utama yang melandasi eksistensi Te Pou. Tainui sendiri mengambil filosofi marae, bangunan sakral suku Maori, sebagai kerangka praktik manajemennya. Hasilnya ialah manajemen kekeluargaan yang solid nan profesional.
Profesionalitas itu, dicontohkan Tainui meski ia adalah sutradara, aktor, produsen, sekaligus pengelola, peran-peran itu tidak boleh tumpang tindih. Ibarat struktur bangunan, setiap orang mengemban tugas masing-masing.
Aktivis teater, Ratu Selvi Agnesia, mengamini praktik di Te Pou Theatre merupakan salah satu contoh apiknya manajemen berkesenibudayaan yang ia amati semasa program 14 November-3 Desember 2016 itu. Manajemen, yang disebutnya, berorientasi kepada seni untuk humanisme.
Kondisi Indonesia
Di Indonesia, pengelolaan rapi ala Selandia Baru itu belum menjadi suatu standar. Dari pengalaman Selvi dengan beberapa kelompok teater, praktik one man show masih berlaku. “Sutradara merangkap pemimpin produksi itu biasa. Sebabnya, ada keterbatasan SDM. Kebanyakan pun lebih memilih jadi pelaku, aktor, ketimbang mengurus manajemen,” imbuh jurnalis laman Akarpadinews itu.
Praktik manajemen di lingkup pemerintah juga memantik keprihatinan tersendiri. Soal bantuan dana, misalnya. Meski ada sejumlah skema bagi kegiatan berkesenian, akses dan penyalurannya cenderung buram. “Dana dan transparansi pemerintah belum terbuka. Yang dapat (dana), yang punya kedekatan,” beber Selvi.
Kondisi di daerah tidak jauh berbeda. Alih-alih kualitas karya, afiliasi dengan partai politik kadang justru jadi penentu nasib proposal pengajuan pendanaan.
“Kadang terlalu birokratis, banyak tetek bengek. Di sini nepotisme kan tinggi. ‘Kau partai siapa? Teman siapa?’ Itu saya rasakan,” ujar Andi Hutagalung, pegiat budaya dari rumah produksi Media Identitas di Sumatra Utara.
Namun, ia tidak lantas patah arang. Andi mengaku tetap termotivasi oleh harapan kondisi di Indonesia itu bakal berubah. “Kalau iya, kesenian kita pasti lebih hidup, lebih keren karena kita amat kaya.”
Pegiat budaya dari Sumatra Barat, Mahatma Muhamad, ikut menyuarakan kegemasannya soal transparansi. Ia menyoroti program fasilitasi dana bagi komunitas di daerah, seperti program Rumah Budaya, yang tidak tepat sasaran.
Harapan Mahatma, Kemendikbud dapat menjadi mitra agar manajemen komunitas daerah lebih ciamik dan transparan. Segala masukan dari para peserta Pegiat Budaya dalam acara penutupan program, diapresiasi Sekretaris Ditjen Kebudayaan Kemendikbud Nono Adya Supriya. “Tulis kritik untuk pemerintah pusat,
provinsi, juga komunitas yang selama ini barangkali terlena oleh fasilitas sehingga bukannya membangun, malah meruntuhkan nilai-nilai yang ada,” tegasnya.
Kemendikbud sendiri, lanjut Nono, tengah berupaya meningkatkan efisiensi program-programnya. Program Rumah Budaya, umpama, sejak 2015 memang dieliminasi lantaran tidak berjalan sesuai dengan harapan. (Irana Shalindra/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved