Penerapan USBN Jangan Gegabah

Richaldo Y Hariandja
05/12/2016 07:49
Penerapan USBN Jangan Gegabah
(ANTARA/Lucky R)

RENCANA moratorium ujian nasional (UN) untuk digantikan dengan ujian sekolah berstandar nasional (USBN) disambut baik oleh berbagai pihak. Langkah itu dinilai kembali mengangkat martabat guru. Meski demikian, pemerintah diminta untuk tidak gegabah memulai konsep tersebut di 2017.

"Kami memang sudah lama meminta agar UN dihapus, mengembalikan proses evaluasi siswa kepada guru, dan sekolah diasumsikan negara percaya kepada guru. Namun, itu perlu dilihat juga kesiapan mereka," ucap pemerhati pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta, Jimmy Paat, pada konferensi pers Menyoal Kebijakan Moratorium Ujian Nasional di Jakarta, kemarin (Minggu, 4/12).

Kesiapan tersebut, lanjut dia, berkaitan dengan kemampuan para guru dalam membuat soal untuk diujikan kepada siswa. Menurutnya, selama ini kebanyakan guru lebih banyak memakai soal yang sudah dibuat oleh pihak lain ketimbang mengkreasikan soal berdasarkan kemampuan mereka. "Diperlukan bimbingan bagi para guru dan sekolah agar tidak keteteran dalam menjalankan sistem baru."

Sementara itu, Koordinator Koalisi Masyarakat Sipil untuk Transformasi Pendidikan, Febry Handri, meminta agar USBN tidak dijadikan standar kelulusan seperti UN.

"Biarlah yang menentukan kelulusan itu sekolah dan guru. Kalau USBN jadi penentu kelulusan, sama saja dengan UN, sontek-menyontek dan kecurangan jadi hal yang lumrah."

Selain itu, dirinya mengkritisi besarnya anggaran pendidikan yang dialokasikan dalam USBN. Meskipun turun dari besaran UN sebesar Rp500 miliar menjadi Rp491 miliar, potensi korupsi tetap terjadi.

"Kami memang belum melakukan penelitian lebih lanjut, tapi mulai dari perencanaan sampai operasional, semua dana tersebut rentan untuk dikorupsi," ujar pria yang juga Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch tersebut.

Sesuai kondisi daerah
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, juga mengungkapkan hal senada. Menurutnya, karena keputusan terkait USBN sebagai pengganti UN merupakan hal yang mendadak untuk diterapkan di 2017, pemerintah sebaiknya tidak dulu menerapkannya untuk seluruh mata pelajaran agar pola soal yang didapat bisa maksimal. Penerapan sebaiknya dilakukan pada beberapa mata pelajaran yang sebelumnya telah digunakan dalam UN.

"Kalau mau untuk semua mata pelajaran, mungkin akan lebih baik bila dilakukan pada 2018 agar dapat lebih maksimal," kata Retno, Sabtu (3/12).

Ia juga berpendapat agar penerapkan USBN sebagai pengganti UN didahului dengan pembuatan pola soal dan standar kompetensi lulusan (SKL). SKL harus dibuat oleh pemerintah pusat sebagai rujukan bagi sekolah di setiap daerah. SKL harus dikelompokkan berdasarkan kelengkapan sarana prasarana pendidikan di daerah.

"Kota-kota besar bisa menggunakan SKL dengan standar yang lebih tinggi. Sementara untuk daerah yang masih minim sarana prasarana pendidikan serta tenaga pengajar harus disesuaikan dengan kondisinya. Mereka dapat menggunakan pola soal berbeda. Intinya, secara umum tetap perlu standar minimal yang harus digunakan daerah sesuai dengan kondisinya," paparnya.(Pro/H-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya