Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
DIBERLAKUKANNYA Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) hasil revisi yang menambahkan Pasal 26 tentang Hak untuk Dilupakan dinilai masih memerlukan penguatan. Menurut praktisi hukum pidana La Ode Ronald, di era digital saat ini, setiap informasi dan berita yang dibuat siapa pun dapat dengan mudah tersebar.
Implementasi pasal itu hanya mampu menarik berita dari sumbernya. "Hak untuk dilupakan itu hak menurut hukum pidana. Setelah nama seseorang bersih (akibat kasus tertentu), yang bersangkutan bisa minta untuk ditarik semua dokumen yang berkaitan dengan nama dia."
Implementasinya, menurut pria yang akrab disapa Rony, akan sulit karena sekarang era digital dan semua informasi dapat ditemukan di mana saja, termasuk media sosial.
Saat ditemui dalam Deklarasi Masyarakat Antihoax, di Jakarta, kemarin, Rony menjelaskan hak untuk dilupakan yang sudah dijamin dalam hukum pidana di era terdahulu lebih mudah dilakukan karena masih berbasis dokumen dan belum mengenal digitalisasi. Dengan demikian, ketika nama seseorang sudah bersih, pengadilan hanya perlu menerbitkan kembali dokumen baru yang isinya mengonfirmasi pemulihan nama baik.
Akan tetapi, berkembangnya dunia digital saat ini membuat pelacakan dan pengungkitan kesalahan lama dapat terjadi dengan mudah. "Kalau sudah begitu, ini jatuhnya fitnah baru, dan harus ada penindakan di sini," terang Rony.
Selain kurangnya penguatan dalam Pasal 26, dirinya menilai revisi UU ITE masih lemah dalam menjaring pelaku penyebar berita palsu (hoax). Berita palsu merupakan cikal bakal penyebar perpecahan dan ujaran kebencian di internet. Revisi saat ini, dikatakan Rony, masih berfokus pada bentuk ujaran kebencian dan pelaku penyebarnya saja. "Berita palsu itu akan bahaya jika menyinggung komunitas," imbuh dia.
Meskipun demikian, masih ada celah untuk memerkarakan berita palsu lewat pasal yang menyangkut asusila. Alasannya, tindakan asusila bukan hanya masalah pornografi, melainkan juga perbuatan yang menghadirkan ketidaknyamanan secara substansial. "Berita bohong itu pasti membuat orang tidak nyaman untuk membacanya," pungkas Rony.
Lebih Kritis
Aktivis media sosial Septiaji Eko Nugroho saat ditemui dalam kesempatan yang sama menyatakan masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan untuk tidak melakukan verifikasi atas berita yang beredar di media sosial. Hal itulah yang menyebabkan berita palsu banyak beredar dan cukup membawa dampak seperti yang diinginkan pembuat berita.
"Kebanyakan orang hanya baca judul saja tanpa lihat isinya, padahal media-media yang menyebarkan informasi hoax itu memainkan judul dari isi berita yang itu-itu saja," ucap Septiaji yang juga Ketua Masyarakat Indonesia Antihoax itu.
Menurut dia, perlu ada laman atau lembaga khusus yang memberikan rating pada pemberitaan yang tersebar di internet. Dengan demikian, masyarakat akan memiliki rujukan terhadap laman yang dia akses untuk mencari berita atau informasi yang benar. "Selain itu, media mainstream harus dapat menyebarkan berita yang tidak memicu perpecahan di masyarakat," tukas dia. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved