KUHP Rugikan Perempuan

Putri Rosmalia Octaviyani
25/11/2016 08:42
KUHP Rugikan Perempuan
(Antara/Widodo S Jusuf)

UNDANG-UNDANG mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak belum sepenuhnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Di sisi lain, media massa di Indonesia yang seharusnya sebagai sarana edukasi masyarakat sering kali menggunakan gaya eufemisme (penghalusan bahasa) dalam memberitakan kekerasan seksual terhadap perempuan. Tindakan seperti itu justru menjadikan korban semakin menjadi korban.

Staf Divisi Perubahan Hukum di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik, Ahmad Luthfi Firdaus, menjelaskan ketidakpastian hukum itu disebabkan definisi kekerasan seksual dan tindak asusila yang ada di Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) dimaknai jika terjadi persetubuhan.

"Kalau di KUHP masuknya kasus keasusilaan dan kekerasan seksual masih digeneralisasi dengan persetubuhan. Berarti, terjadinya penetrasi alat kelamin, kan," ujar Luthfi kepada wartawan dalam rangka Peringatan Kampanye 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan, di Komnas Perempuan, Jakarta, kemarin.

Padahal, ucap Luthfi, bentuk tindakan kekerasan seksual yang dialami para korban sangat beragam. "Kekerasan seksual bentuknya macam-macam. Ada dengan tangan atau alat bantu. Definisinya saat ini masih kuno, harusnya dikembangkan," kata dia.

LBH Apik mencatat terdapat 573 kasus kekerasan yang menimpa perempuan atau anak-anak di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebanyak 40 kasus di antaranya digolongkan sebagai kasus kekerasan seksual. Namun, dari 40 kasus itu, hanya empat kasus yang diproses lanjut dan diputus pengadilan. Empat kasus yang diproses itu merupakan kasus pemerkosaan.

Sebanyak 36 kasus lainnya tidak berlanjut atau lambat dalam proses penindakan hukum. Ada yang masih di tahap penyidikan, di kejaksaan, bahkan ada yang di-SP3 karena dianggap kekurangan bukti. Salah satu faktornya terkait dengan definisi kekerasan seksual di dalam KUHP saat ini.

Bias media
Saat berbicara terpisah, Ketua Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Alex Junaidi menyampaikan masih ada problem pada pemberitaan seputar kekerasan terhadap perempuan di media massa di Tanah Air.

"Media di Indonesia sering kali menggunakan kata-kata seperti 'dinodai', 'digagahi', untuk menuliskan berita pemerkosaan. Kata-kata seperti itu membuat korban semakin menjadi korban," ujar Alex dalam diskusi bertema Peran media dalam mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, di @america, Jakarta.

Dalam perspektif seperti itu, media masih banyak menyalahkan korban saat terjadi pelecehan, seperti menuliskan 'korban diperkosa karena berpakaian mini' atau 'jalan sendiri di malam hari'.

Masih maraknya penulisan yang sudutkan korban perempuan dalam pemberitaan, menurut Alex, salah satunya disebabkan Indonesia menganut budaya patriarkat, laki-laki dominan ketimbang perempuan. "Pola pikir wartawan yang menulis juga patriarkat, apalagi jumlah wartawan laki-laki lebih banyak ketimbang wartawan perempuan."

Untuk meminimalkan kejadian seperti itu, menurut dia, wartawan perlu memiliki pengetahuan kesetaraan gender agar tidak menuliskan stereotip perempuan dalam beritanya. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya