Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
DARI luar bangunan ini hanya tampak seperti wihara dengan dua pagoda yang berdiri tegak. Tidak disangka, di dalam kompleks tempat ibadah umat tridarma (Buddha, Hindu, dan Konghucu) itu juga terdapat dua tempat ibadah untuk agama lain, yakni Musala Baitul Muttaqin untuk muslim dan gereja untuk kaum nasrani. Namun, gereja di kompleks tersebut tidak memiliki nama dan hanya memiliki lambang salib.
Musala berada persis di depan pagar wihara, tapi tetap dalam satu kompleks, sedangkan gereja berada di sebelah timur, dekat dengan tempat pergelaran seni serta gedung olahraga.
Itulah Wihara Avalokitesvara, di Desa Polagan, Kecamatan Galis, Pamekasan, Jawa Timur. Wihara tridarma terbesar itu di Madura dan berada di tengah-tengah permukiman muslim di Dusun Candi, Desa Galis.
Musala dan gereja itu, kata pengelola wihara, Kosala, ialah fasilitas untuk memudahkan keluarga warga wihara yang beragama Islam dan Kristen serta agar pengunjung wihara tidak kesulitan mencari tempat ibadah saat berada di tempat itu. “Banyak keluarga warga wihara yang beragama Islam dan Kristen. Karena itu, kami menyediakan tempat ibadah bagi mereka,” kata Kosala, Sabtu (19/11).
Meskipun tidak tampak ada kegiatan di dua tempat ibadah itu, keduanya tampak terawat. Di musala terdapat sajadah yang terhampar rapi. Kondisinya juga bersih. “Petugas kebersihan wihara juga bertugas membersihkan dan merawat musala dan gereja itu,” jelas Kosala.
Keberadaan wihara di perkampungan muslim itu sudah ada sejak sekitar 300 tahun yang lalu, untuk menampung patung-patung Kerajaan Majapahit.
Dikabarkan, pada sekitar 1400 M, Keraton Jamburingin (Proppo-Pamekasan) berencana membuat candi sebagai tempat ibadah. Majapahit sebagai penguasa wilayah Jamburingin membantu pembangunan candi dengan mengirim beberapa arca.
Namun, pengiriman ke lokasi candi gagal karena angkutan rusak. Dalam waktu bersamaan, agama Islam yang mulai tersebar di daerah Pamekasan mendapat sambutan baik dari penduduk. Akhirnya pembangunan candi di Pantai Talang pun tak terlaksana. Patung-patung kiriman dari Majapahit ditinggalkan orang, terbengkalai, dan lenyap terbenam tertimbun tanah.
Sekitar 1900 sebuah keluarga keturunan Tionghoa membeli tanah (ladang), tempat patung-patung tersebut berada. Setelah tempat itu dibersihkan, diketahui patung-patung tersebut ialah patung-patung Buddha versi Majapahit dalam aliran Mahayana yang banyak penganutnya di daratan Tiongkok.
Tempat itu kemudian mulai dibenahi dan jadilah Wihara Avalokitesvara (Kwan Im Kiong) Kelenteng Pamekasan sampai saat ini.
“Sampai sekarang, wihara ini tetap berdiri dan tidak pernah ada gangguan apa pun meski berada di tengah-tengah perkampungan muslim,” jelas Kosala.
Untuk menjaga kebersamaan dengan warga sekitar, kata pimpinan Sanggar Budaya itu, pihak wihara melibatkan pemuda di Desa Polagan sebagai pengurus dan pelaksana kegiatan. Bahkan, di tempat itu juga disediakan panggung kesenian yang biasa digunakan warga setempat. (Mohammad Ghazi/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved