Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Sebanyak 19 gereja dan 5 masjid dan musala, yang sebagian berdiri bersisian itu menjadi penanda harmoni di Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Bukan cuma komposisi penduduknya yang istimewa, dengan 93% Kristen dan 7% Islam dengan total penduduk sebanyak 7.600 jiwa, yang tak lazim bagi desa-desa di Pulau Jawa lainnya yang sebagian besar penduduknya ialah muslim. Namun, tautan persaudaraan yang berhasil dirawat antargenerasi, bahkan ketika tantangan soal radikalisasi, terorisme, hingga hasutan di media sosial merebak, desa ini tetap menjadi anomali yang terpuji.
Riset soal pluralitas banyak dilakukan di sini, pun kunjungan dari berbagai instansi nasional dan global. “Bahkan, dalam waktu dekat ini, Kedutaan Australia akan datang berkunjung ke Masjid Agung Jami Malang. Barangkali itu pengaruh atas konsep toleransi yang kita lakukan di Malang,” ungkap Ketua Takmir Masjid Agung Jami Kota Malang KH Zainuddin Abdul Muhith.
Berkah toleransi itu menjadi bagian dari keseharian warga desa di wilayah yang dibuka pada 1895 itu. Di desa seluas 3.049,00 ha, harmoni itu berwujud tempat permakaman umum yang disatukan, tak dipisahkan berdasarkan agama.
“Ketika ada warga meninggal dunia, ada Rukun Kematian. Warga yang beragama Islam membuatkan peti jenazah dengan sukarel, menggali kubur bersama. Ada modin Islam dan modin Kristen,” tegas Kepala Desa Sitiarjo, Lispianto Daud kepada Media Indonesia, Jumat (18/11).
Begitu pun dalam masa suka, saat hajatan pernikahan, warga Kristen dan Islam sama-sama bersemangat untuk sinoman, membantu sukarela atau bekerja sukarela dilandasi rasa kekeluargaan.
Kebersamaan juga berlanjut dalam kegiatan berkesenian. Di Sitiarjo ada empat kelompok kuda lumping yang semuanya warna-warni, beranggotakan seniman merangkap petani dari agama berbeda. “Di Desa Sitiarjo, warga dengan sendirinya menganggap masalah perbedaan itu tidak perlu diperuncing,” ujar Lispianto.
Dipersatukan encek
Bagi warga perdesaan, tradisi menjadi pererat mereka. Saat tasyakuran desa tiap 25 Juni, yang dirayakan di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW), semua bergotong royong. Setiap keluarga, baik yang Kristen maupun Islam, membuat encek, wadah dari pelepah pisang. “Setiap kepala keluarga wajib membawa satu encek berisi makanan. Encekan itu dikumpulkan, doa bersama dengan cara Islam dan Kristen, selanjutnya saling bertukar encek,” katanya.
“Kami juga memberikan insentif bagi guru ngaji dan guru sekolah minggu. Bahkan, dua orang sudah ada yang berangkat haji,” lanjut Lispianto. Tanpa perlu aturan desa, harmoni dalam itu berjalan organik.
Harmoni saat Idul Adha
Harmoni di Sitiarjo itu kemudian menjadi bekal bagi Sistrianto, pendeta di Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Talun, Kota Malang, yang sempat menjadi pendeta selama lima tahun di sana. Kiprahnya memimpin umatnya mendahulukan persamaan berwujud kolaborasi ciamik dengan Masjid Agung Jami Kota Malang yang lokasinya bersampingan.
“Mereka melaksanakan aktivitas agama, kita juga begitu. Saat ada ulang tahun gereja ke-100, mereka berkirim surat untuk mengajak warga masjid kerja bakti. Kami menghargai itu, pemuda masjid ikut kerja bakti. Itu simbol saling menghormati,” kata Zainuddin Abdul Muhith.
Zainuddin menuturkan, dua tahun lalu, saat Idul Adha bersamaan dengan Misa, gereka kemudian menggeser jam ibadah itu untuk memberi kesempatan umat Islam mendapat ruang lebih lega. “Saya minta maaf, mungkin mengganggu agar kegiatan Misa agak disiangkan,” kata Zinuddin.
Buah kerja keras diakar rumput itu menghasilkan tiket bagi Wali Kota Malang Mochammad Anton untuk mewakili Indonesia di forum The International Steering Commitee of The Strong Cities Network (SCN) di Turki. Kota Malang satu-satunya kota di Indonesia mewakili pertemuan internasional tersebut.
Bukan cuma kata
“Memang banyak pengertian tentang toleransi, bukan hanya pengertian, bahkan pemahaman setiap orang juga bisa jadi berbeda. Namun, secara sederhana, toleransi bisa diartikan sebagai pembiaran, pemakluman, ataupun pembolehan terhadap orang lain untuk melakukan sesuatu,” terang Dekan Fakultas Filsafat UGM Arqom Kuswanjono.
Namun, apakah cukup dengan hanya seperti itu? Cukup dengan pembolehan ataupun pembiaran. Ternyata tidak! Arqom memaparkan, toleransi tidak hanya membolehkan, tetapi mesti ditindaklanjuti kerja sama.
“Sehingga orang yang toleran dalam konteks agama, memahami agamanya dengan baik, tapi juga mengerti atau memahami agama orang lain. Dia mengerti hal-hal yang bisa sensitif bagi orang lain, misalnya yang nggak boleh disinggung atau sebagainya. Sebab perkara yang dituju dalam toleransi ialah keharmonisan. Jadi, kalau tidak mencapai harmoni, itu dipertanyakanlah tolerasi itu!” (Zuq/M-1)
miweekend@mediaindonesia.com
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved