Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
IMPLEMENTASI UU 33/2016 tentang Jaminan Produk Halal nyatanya harus dilakukan secara bertahap. Ketentuan mengenai keharusan halal baik kosmetik, makanan, maupun obatobatan tidak bisa sekaligus diterapkan karena menyangkut persoalan mengenai bahan baku obat yang sebagian besar masih diimpor sehingga sulit menjamin kehalalannya.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia Dorodjatun Sanusi mengaku cukup sulit untuk menerapkan aturan halal bagi obat-obatan. Permasalahannya ialah bagaimana mungkin memberikan sertifikasi halal bagi bahan baku obat yang sebagian besar masih diimpor, terlebih untuk jenis obat paten yang riset serta pengembangannya bukan menitikberatkan pertimbangan halal atau tidaknya bahan baku, melainkan khasiat.
"Masalah yang kita hadapi untuk obat sangat kompleks. Pertama, obat diimpor itu harus disertifikasi dahulu, bahan baku disertifikasi bagaimana caranya? Menurut informasi yang saya terima, ada 150 ribu jenis bahan baku yang harus disertifikasi. Kedua, memprioritaskan soal khasiat dan kualitas berdasarkan cara produksi obat yang baik. Kalau ditambah aturan halal, apa kita harus setop memproduksi obat?" ujarnya ketika dikonfirmasi, kemarin (Selasa, 8/11).
Dorodjatun menambahkan pemberlakuan sertifikasi halal terhadap obat juga berdampak pada ketersediaan obat di masyarakat. Bila peredaran semua obat yang belum tesertifikasi halal dihentikan, akan terjadi kelangkaan dan pemerintah harus mengantisipasi hal itu. Karena itu, pihak industri farmasi meminta penerapan aturan halal terhadap obat-obatan bersifat sukarela. "Di negara lain pun sebenarnya tidak ada aturan mengenai keharusan itu," imbuh dia.
DPR pun menyadari hal itu. Wakil Ketua Komisi VIII DPR Sodik Muhammad dari F-Gerindra mengatakan tahap pertama akan difokuskan pada produk makanan, kemudian kosmetika dan terakhir pada obat-obatan. "Yang harus dicarikan jalan keluarnya bukan pengecualian terhadap industri farmasi, tapi penahapan," kata Sodik.
Implementasi bertahap, kata dia, dapat memberikan ruang untuk pencarian solusi termasuk pencarian material pengganti yang halal. Saat ini DPR telah meminta Kementerian Agama untuk menyusun aturan turunan pelaksana dari UU tentang Jaminan Produk Halal.
Sukarela
UU tentang Jaminan Produk Halal kembali menjadi pembahasan hangat dalam European Union-Indonesia Bussines Discussion (EIBD) tahun ini. Pengusaha menilai pencantuman label halal lebih tepat dilakukan secara voluntary (sukarela).
"Halal tidak bisa dilakukan mandatory, tapi voluntary. Kalau mandatory itu kalau bisa tidak membebani cost produksi karena produk kita jadi tidak kompetitif," ujar Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta W Kamdani dalam konferensi pers mengenai pertemuan bilateralnya dengan perwakilan Uni Eropa di Jakarta, kemarin.
Menurut Shinta, peraturan itu dipandang memberatkan dunia usaha dan sulit diterapkan serta berpotensi mengganggu iklim investasi di Tanah Air.
Komisioner untuk Pertanian dan Pembangunan Daerah Uni Eropa Phil Hogan mengatakan pihaknya lebih menekankan konsistensi regulasi terkait dengan produk halal. "Kewajiban memberi label halal itu tidak perlu, menurut kami semestinya optional," kata dia. (Fat/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved