Pendidikan dan Tayangan Ramah Anak

Ali Usman
10/10/2016 04:50
Pendidikan dan Tayangan Ramah Anak
(Ilustrasi--MI/Duta)

BEBERAPA faktor pembentuk karakter anak ialah lingkungan, yang mencakup keluarga, sekolah/pendidikan, dan masyarakat luas.

Di luar itu, untuk konteks modern sekarang, faktor pembentuknya ialah pengaruh media cetak maupun elektronik.

Itulah sebabnya, jikalau terjadi kasus seorang anak yang melanggar norma-normal moral (agama dan adat), seperti tawuran antarpelajar, free sex, dan pencurian/perampokan, perlu dilakukan evaluasi secara menyeluruh, yang umumnya hanya melimpahkan itu kepada peran keluarga, sekolah, dan masyarakat luas.

Namun, media sering kali diabaikan.

Padahal tayangan media televisi, misalnya, memberikan efek besar terhadap perkembangan dan perilaku keseharian, terutama bagi anak.

Setiap adegan yang ditampilkan di layar kaca sering kali menjadi pemicu--baik langsung maupun tidak--seorang anak melakukan tindakan-tindakan yang tidak etis, amoral, dan bahkan berujung pada kriminalitas.

Karena itu, pertanggungjawaban moral-hukum materi siaran televisi sesungguhnya sangat berat dan perlu terus diawasi secara ketat, tidak hanya dilakukan pemerintah (KPI), tetapi juga atas aspirasi masyarakat luas.

Itulah sebabnya, materi siaran yang ditayangkan televisi wajib ramah anak, berdasarkan amanah UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 pasal 36 ayat 1, yaitu mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia.

Aturan tersebut merupakan prinsip umum pelaksanaan siaran yang ironisnya sering kali ditabrak sebagian penyelenggara televisi.

Tayangan televisi, meski mungkin dalam kadar pelanggaran ringan untuk konteks kepentingan anak, perlu diantisipasi dan diperhatikan secara serius. Hal ini dapat diamati dari beberapa fakta berikut.


Kepentingan bisnis vs etis

Pertama, masih terdapat siaran yang mengganggu tayangan ramah anak, seperti infotainment gosip selebritas.

Secara substansial, memang mungkin tidak ada yang salah dengan tayangan itu, sekadar memenuhi fungsi siaran sebagai media informasi dan hiburan, tetapi jika disiarkan pada jam-jam khusus sebelum anak berangkat sekolah, misalnya, jelas pilihan waktu tayang yang kurang tepat, sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat 3 UU Nomor 32 Tahun 2002.

Media televisi perlu meningkatkan pertimbangan etis, bukan semata-mata kepentingan bisnis.

Media wajib berkontribusi pada kualitas pengembangan generasi bangsa dengan cara menayangkan program-program yang mendidik, tidak murni berorientasi 'dagang' demi memperoleh rating siaran yang dapat mendatangkan keuntungan materi melimpah.

Kedua, meskipun tayangan televisi telah mencantumkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran, seperti pada program anak kode A (7+), itu tidak diikuti pula oleh iklan atau tayangan-tunggu yang sesuai dengan karakter anak.

Benar isi siaran telah memenuhi kriteria tayangan hiburan untuk anak, tetapi hal itu justru dinodai iklan niaga yang cenderung tidak mendidik, atau promosi film/sinetron khusus dewasa, horor, dan padanan negatif lain yang kurang layak ditonton anak.

Pemilik stasiun televisi bisa saja berdalih bahwa lewat iklan-iklan niaga itulah siaran tayang program anak dapat terlaksana sebagai sponsor, tapi dalih ini tidak sepenuhnya benar.

Materi penayangan iklan niaga mestinya disesuaikan dengan program isi siaran yang ramah anak, bukan iklan rokok yang mengajarkan bagaimana menjadi laki-laki sejati seolah ditunjukkan dengan cara loncat tebing; promosi film horor yang bisa memicu anak menjadi penakut; film laga adu fisik dan kontak senjata yang cenderung melakukan aksi-aksi kekerasan.


Pendampingan keluarga

Ketiga, anak yang menonton di depan layar kaca jangan dibiarkan sendiri tanpa didampingi secara aktif dan intensif oleh keluarga (orangtua).

Sebab terjadi kesalahpahaman di kalangan keluarga selama ini.

Meskipun isi siaran berkategori anak (kode A) dan remaja (kode R), tidak berarti aman dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan keluarga.

Orangtua harus tetap terlibat dalam proses pendampingan, terutama bagi anak usia di bawah 10 tahun, untuk mengklarifikasi maksud implisit jikalau terdapat adegan yang mengarah pada kategori usia dewasa, dan menjelaskan istilah-istilah yang mungkin bagi anak dianggap baru.

Di antara contoh kasus ini--untuk sekadar menyebutkan--ialah pada penayangan film Frozen, yang sering ditayangkan di layar kaca.

Film animasi ini tidak hanya menjadi tontonan favorit anak dan remaja, tetapi juga orang-orang dewasa.

Cerita di dalamnya memang khas anak dan remaja, tetapi jika tidak hati-hati dan membiarkan anak menonton tanpa didampingi pihak keluarga, itu akan menimbulkan keresahan.

Di akhir cerita, terdapat adegan panas, ciuman aktor protagonis.

Atau perhatikan pula pada film-film kartun semacam Doraemon, Dragon Ball, Naruto.

Di dalamnya sering kali tersiar ekspresi kemarahan yang diakhiri jalan penyelesaian tindak kekerasan.

Contoh kasus lain ialah pada acara tayangan televisi genre komedi, yang sering kali menampilkan adegan kekerasan lewat bahasa komunikasi maupun fisik tindakan.

Kekerasan lewat bahasa berupa caci-maki dan ungkapan tidak sopan dilontarkan para pemain, sedangkan kekerasan fisik biasanya memperagakan bahan (alat memukul dan memotong), yang meski dianggap terbuat dari bahan baku aman, tetapi tindakan untuk memukul dan memotong nyaris tidak ada sensor.

Karena itulah, upaya mewujudkan tayangan ramah anak membutuhkan kerja sama yang integralistik, antara penyelenggara siaran, pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan.

KPI punya tugas berat untuk terus menegur dan mengingatkan agar media televisi menayangkan siaran sesuai dengan aturan yang berlaku.

Apalagi, di dunia modern sekarang, masyarakat cenderung lebih suka menikmati sajian informasi lewat audio daripada literasi cetak.

Jangan sampai anak sebagai generasi penerus bangsa dicekoki konsumsi informasi hiburan yang tidak sehat, melanggar norma agama, dan sosial.

Ali Usman
Pemerhati pendidikan di Yogyakarta



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya