Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
PEMERINTAH khususnya Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Ditjen GTK Kemendikbud) menerapkan kebijakan baru mengenai standar nilai minimum sertifikasi guru melalui Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Kontan saja, kebijakan itu langsung menuai kontrovesi dari sejumlah pihak.
Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti mengatakan bahwa secara logika penaikkan nilai minimum dari semula 4,2 menjadi 8,0 sangat tidak masuk akal lantaran dinilai terlalu tinggi. Padahal, rencananya standar nilai ujian sertifikasi guru akan naik secara bertahap sebesar 0,5 setiap tahunnya.
"Kenaikannya terlalu dipaksakan, bukankah semula ditargetkan angka minimal 8,0 pada 2019? Kalau sekarang kan naiknya hampir 100%, tentu memberatkan apalagi dadakan dan tanpa sosialisasi yang memadai," ujarnya saat dihubungi Media Indonesia, Sabtu (17/9).
Ia menegaskan, suatu kebijakan pendidikan tidak semestinya dilakukan secara topdown apalagi hanya bersandar pada persetujuan wakil presiden. Pun jika kebijakan tersebut akan diberlakukan terlebih dahulu harus disosialisasikan, diuji coba, baru kemudian diberlakukan menyeluruh.
"Jaringan kami di berbagai daerah juga baru tahu. Katanya disosialisasi, tapi kami tidak pernah tau. Sosialisasi pake metode apa? Seandainya diberlakukan, itu namanya bentuk kesewenangan penguasa," cetusnya.
Menurut Retno, jika pemerintah ingin meningkatkan kualitas guru dan pendidikan di Tanah Air, jawabannya bukan dengan ujian. Melainkan mendukung sarana PLPG yang disesuaikan dengan kebutuhan guru seperti di bidang Informasi Teknologi (IT) serta kemampuan menulis para guru.
Pasalnya, ungkap dia, di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini tidak sedikit guru baik di desa maupun perkotaan yang masih gagap teknologi.
PLPG yang selama ini dilakukan selama dua semester dengan bobot 50 satuan kredit semester (SKS) lebih bersifat sebagai syarat untuk mendapatkan sertifikat guru.
"Ibaratnya kalau murid di kelas ngga pernah diajarin dan dilatih tapi disuruh ujian terus, apakah akan meningkat kualitasnya?" ketus Retno.
Meskipun, ia tidak menafikkan bahwa peningkatan kualitas pendidikan sangat bergantung pada guru. Akan tetapi tidak lantas ujian tersebut menjadi satu-satunya acuan untuk membangun kualitas guru, terlebih dengan menaikkan standar nilai minimum yang harus dicapai agar lulus ujian.
Baginya, yang terpenting pemerintah harus memberikan pelatihan guru sesuai kebutuhan. Sehingga untuk itu diperlukan pemetaan supaya nantinya pelatihan tersebut dapat berjala secara efektif dan berkesinambungan, tidak melulu soal perubahan kurikulum.
"Guru juga harus dilatih agar dapat mengatasi kekerasan dan menangkal radikalisme," tandasnya.
Sementara itu, Pelaksana Tugas Ketua Umum Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyatakan bahwa pelaksanaan ujian sertifikasi sejatinya telah melanggar UU Guru dan Dosen No.14/2005 dan PP No.74/2008 tentang Guru.
Di dalam regulasi tersebut tidak diatur persyaratan mengikuti sertifikasi dan lulus dengan nilai minimum 8,0.
"Lihatlah sertifikasi dosen tidak ada syarat macam-macam dan tidak diubah bentuknya. Tapi sertifikasi guru berubah bentuk dan prosesnya hingga lima kali," cetusnya.
Kendati demikian, menurut Unifah, hal tersebut bukan semata-mata kesalahan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya saja, aturan teknis yang dibuat oleh Diitjen GTK harus benar-benar dikoreksi agar berjalan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.
"Hal ini sudah kami sampaikan juga kepada Mendikbud kalau ujian sertifikasi dan harus lulus uji kompetensi guru (UKG) itu melanggar UUGD dan PP tentang Guru," pungkasnya. (OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved