Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
IA tersenyum meski di tangannya ditanam jarum untuk transfusi darah. Karena waktunya cukup panjang hingga setengah hari, lelaki asal Desa Panican, Kecamatan Purbalingga, Jawa Tengah (Jateng) sesekali bangun dari tempat tidurnya.
Febriyan, 19, tampak bercakap-cakap dengan teman yang menungguinya di salah satu ruangan Pusat Thalasemia Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Banyumas. Ia seperti tidak mengalami sakit meski telah menjalani tranfusi darah selama 14 tahun.
"Pertama transfusi darah pada usia 5 tahun dan sekarang sudah 14 tahun. Biasanya, saya menjalani tranfusi sekitar tiga pekan sekali di Pusat Thalasemia sini," kata Febriyan yang telah bekerja di Purbalingga tersebut.
Sejak usia 5 tahun itulah, orang tua Febriyan sangat disiplin mengantarkan Febriyan menjalani transfusi. "Waktu itu, keluarga saya yang mengeluarkan untuk biaya perawatan, tranfusi dan obat. Ya, tentunya cukup besar biayanya, apalagi harus mengeluarkan ongkos sendiri. Sebab ketika itu belum ada asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sehingga seluruh ongkos harus ditanggung sendiri. Orang tua sampai menjual rumah untuk biaya pengobatan dan perawatan saya," ujarnya lirih.
Seiring dengan berjalannya waktu, muncul program Jamkesmas, kemudian bermetamorfosis menjadi BPJS Kesehatan. "Saya telah memiliki Kartu Indonesia Sehat (KIS), sehingga biaya transfusi, perawatan, dan obat ditanggung semua oleh pemerintah melalui BPJS Kesehatan. Kalau tidak ada itu, ceritanya mungkin bakal berbeda. Dengan BPJS Kesehatan, maka saya hanya menanggung biaya transportasi dari Purbalingga ke Banyumas," jelasnya.
Tak hanya Febriyan, Lestari, 37, asal Poncowarno, Kebumen, juga membawa anaknya, Anges, 12, penderita thalasemia ke Pusat Thalasemia di RSUD Banyumas. "Pada awal diketahui menderita thalasemia pada usia 1,5 tahun, saya bolak balik ke RS di Kebumen. Waktu itu, karena belum ada asuransi kesehatan, biaya ditanggung sendiri. Ya, cukup besar, bahkan saya kerap kebingungan dengan apa bakal membayar," katanya.
Namun, itu masa lalu. Saat ini, paling hanya biaya transportasi dari Kebumen ke Banyumas. Itu tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan biaya perawatan.
"Karena sekali saja menjalani transfusi dan perawatan, saya dengar ongkosnya sampai belasan juta. Kalau sebanyak itu, saya harus mengeluarkan uang sendiri jelas tidak mampu. Saya tidak dapat membayangkan kalau tidak ikut BPJS Kesehatan. Saya pastikan, tidak akan mampu membiayai. Beruntunglah saya, karena ada asuransi kesehatan untuk warga tidak mampu seperti saya. Anak saya juga tidak terbeban dan semangat menjalani perawatan," ungkap Lestari.
Di sisi lain, kata Lestari, meski dirinya menggunakan BPJS Kesehatan, pelayanan yang didapat tetap prima. "Hampir seluruh dokter dan petugas di sini sudah hafal, karena setiap 3 minggu sekali saya pasti datang untuk perawatan anak saya. Makanya sudah seperti keluarga. Pelayanannya juga menyengangkan. Semuanya melayani dengan senyum," katanya.
Direktur RSUD Banyumas Siswanto Budiwiyoto mengungkapkan sejak lama RSUD Banyumas melayani penderita thalasemia. Sejak Mei lalu, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo meresmikan Gedung Pusat Thalasemia di RSUD Banyumas.
"Jadi kami tidak hanya melayani penderita thalasemia dari Banyumas saja, melainkan juga dari wilayah di Jateng bagian barat, bahkan Jawa Barat (Jabar) wilayah timur seperti Ciamis dan Banjarpatroman. 2012 lalu jumlah pasien di RSUD Banyumas sebanyak 150 pasien. Kemudian saat awal pembukaan Pusat Thalasemia yang memiliki 30 tempat tidur itu, pasien telah meningkat menjadi 350 pasien. Saat ini, jumlahnya melonjak lagi, mencapai 386 pasien," ujar Siswanto.
Ia mengungkapkan hampir seluruh pasien thalasemia pasti mengikuti BPJS Kesehatan. "Bahkan, kami mendorong keluarga pasien thalasemia yang belum ikut BPJS Kesehatan untuk ikut. Sebab biaya untuk perawatan penderita thalasemia cukup mahal. Untuk sekali datang menjalani transfusi, perawatan dan obat berkisar antara Rp13 juta hingga Rp18 juta. Padahal, secara rutin setiap 3-4 minggu sekali, mereka harus datang ke RS untuk menjalani perawatan. Dalam setahun saja, sudah ratusan juta jika harus menanggung sendiri. Itulah mengapa, kami juga ikut mendorong bagi yang belum mengikuti program BPJS Kesehatan untuk ikut," katanya.
Siswanto menambahkan sebagai RS rujukan penderita thalasemia di wilayah Jateng barat dan Jabar timur, pihaknya terus meningkatkan pelayanan bagi mereka. "Pelayanan yang kami lakukan di antaranya pemberian obat khusus 'kelasi besi' yang membuat pasien tetap terlihat bugar dan kulit tidak menghitam. Selain itu menjalin komunikasi dengan paguyuban thalasemia, sehingga bersama-sama mempedulikan mereka sehingga secara psikologis juga lebih nyaman," tambahnya.
Terpisah, Kepala Unit Hukum Komuniksi Publik dan Kepatuhan BPJS Kesehatan Purwokerto Anif Saofika Pratama mengungkapkan pada prinsipnya berbagai macam penyakit dengan indikasi medik ditanggung oleh BPJS Kesehatan.
"Kebetulan BPJS Kesehatan Purwokerto melayani empat kabupaten yakni Banyumas, Cilacap, Purbalingga dan Banjarnegara. Meski demikian, kalau ada pasien dari luar daerah seperti di Pusat Thalasemia RSUD Banyumas tersebut tetap akan ditanggung, meski mereka berasal dari luar empat kabupaten," katanya.
Anif mengatakan pihaknya terus mendorong kesadaran warga untuk ikut BPJS Kesehatan terutama yang mandiri. “Semua orang tidak mau sakit, itu pasti. Namun demikian, kalau sakit datang, maka mereka akan lebih tenang karena sudah ada yang menanggung. Makanya, kami juga terus mengedukasi," ujar Anif.
Para penyandang thalasemia menjadi contoh penerima manfaat BPJS Kesehatan. Mereka tak lagi kebingungan masalah biaya, karena seluruh biaya perawatan mereka ditanggung. Sehingga asa mereka terutama yang muda-muda tetap terjaga, karena perjalanan mereka masih panjang.
(OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved