Pelayanan Korban Kasus Kekerasan Belum Terpadu

Indriyani Astuti
30/8/2016 17:07
Pelayanan Korban Kasus Kekerasan Belum Terpadu
(Ilustrasi Seno)

BANYAK proses hukum kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak tuntas karena penanganan terhadap korban belum dilakukan secara terpadu.

Menurut Deputi Bidang Perlindungam Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Venneta R Danes sebenarnya standar pelayanan minimal untuk kasus kekerasan telah dibuat sejak 2010 oleh KPPPA, tapi hingga saat ini belum maksimal.

"Standar pelayanan minimal yang dibuat oleh satu kementerian tapi harus dieksekusi oleh banyak institusi dan lembaga lainnya. Banyak hal yang belum sesuai harapan kami," ujarnya dalam Seminar dan Lokakarya Mediokolegal dalam Penangangan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak yang digelar di Bali, 27-29 Agustus 2016.

Dia menjelaskan, kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan kejahatan yang mengakibatkan timbulnya korban dengan masalah mediokolegal dan medis yang membutuhkan tata laksana dari berbagai institusi dan profesi. Tapi dalam penerapanya, masih terbentur banyak kendala.

Venneta mencontohkan dalam hal penanganan medis. Korban kekerasan kerap kali belum mendapat penanganan yang sesuai tata laksana kasus kekerasan.

"Dokter dan tenaga medis menjadi garda terdepan dalam penanganan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dokter-dokter yang tidak khusus menangani kekerasan misalnya ada lecet, diobati saja lecetnya tanpa ada perlakuan khusus sebagai korban," ujarnya.

Padahal, lanjut dia, penilaian klinis adalah komponen penting dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi korban kekerasan. Tenaga medis melakukan pemeriksaan medis dan pengobatan kondisi kesehatan korban, mendokumentasikan temuan dan mengumpulkan bukti oleh dokter forensik dibutuhkan dalam proses penegakan hukum.

Kendala lainnya berkaitan dengan biaya. Pelayanan bagi korban kekerasan membutuhkan biaya. Pemerintah pusat dan daerah mempunyai tanggung jawab demi terpenuhinya hak sehat dan hak hukum bagi korban.

"Ada provinsi yang penanganan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan bagus, tapi masih ada yang kurang sekali. Ada daerah yang sudah menganggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), ada yang tidak," terang dia.

Hal itu dibenarkan oleh ahli forensik dari Universitas Indonesia Yuli Budiningsih. Dia mengatakan, korban kekerasan sering kali tidak mendapatkan pemeriksaan medis yang dibutuhkan karena terbentur biaya.

"Ada beberapa yang tidak dicover Jaminan Kesehatan Nasional misalnya visum," ujarnya. (OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Widhoroso
Berita Lainnya