Babak Baru Pendidikan Aceh-Mindanao

Marthunis
29/8/2016 05:40
Babak Baru Pendidikan Aceh-Mindanao
(Ilustrasi--MI/Duta)

ACEH dan Mindanao memiliki beberapa karakteristik yang mirip.

Sejarah konflik bersenjata yang sama-sama menginginkan referendum dari pemerintahan masing-masing karena dipicu alasan kesenjangan distribusi kesejahteraan ialah polemik yang dihadapi kedua wilayah itu.

GAM (Gerakan Aceh Merdeka) di Aceh serta MILF (Moro Islamic Liberation Front) di Mindanao merupakan poros kekuatan yang hampir serupa dalam gerakan perjuangan mereka dengan tujuan mendirikan negara berdaulat yang berlandaskan syariat Islam.

Secara geografis, Aceh dan Mindanao juga menjadi dua daerah di setiap negara bersumber daya alam melimpah.

Aceh dikenal kaya dengan gas alam dan minyak bumi, sedangkan Mindanao memiliki kekayaan alam berupa emas, tembaga, dan bahan-bahan tambang lainnya.

Tidak mengherankan jika Indonesia dan Filipina sama-sama ingin mempertahankan keduanya sebagai bagian dari kedaulatan negara masing-masing.

Peristiwa gempa bumi dan tsunami 12 tahun silam membawa berkah tersendiri bagi masyarakat Aceh.

Konflik berkepanjangan selama lebih dari tiga dekade yang telah menghilangkan ribuan nyawa masyarakat sipil berakhir di meja perundingan pada 2005.

Kesepakatan damai akhirnya diamini kedua belah pihak (GAM-Pemerintah RI) yang bermuara pada dibubarkannya GAM sebagai kelompok separatis.

Lahirnya UUPA (Undang-Undang Pemerintah Aceh) 2006 yang disahkan pemerintah RI melalui 10 fraksi DPR kala itu menjadi tonggak awal Aceh menuju reintegrasi dan kemudian melakukan rekonsiliasi secara tuntas.

Sejak saat itu pula Aceh mulai membenahi semua sektor. Perekonomian, pembangunan, serta pendidikan yang sempat porak-poranda di masa konflik mulai ditata kembali.

Sebelas tahun usia damai Aceh setidaknya telah membuahkan hasil yang cukup signifikan.

Perekonomian masyarakat kembali menggeliat. Pembangunan di berbagai lini juga terus dilakukan serta mutu pendidikan Aceh dapat kembali bersaing di level nasional.

Di sisi lain, Mindanao juga telah mengalami pergolakan konflik yang cukup panjang.

Konflik di Mindanao tergolong kompleks dan rumit.

Timbulnya faksionalisasi gerakan perjuangan dengan kecenderungan kepentingan berbeda menjadikan konflik di wilayah ini sulit diurai.

Autonomous Region in Muslim Mindanao (ARMM) yang dibentuk pemerintah Filipina 1989 sebagai hasil kesepakatan damai dengan Moro National Liberation Front (MNLF) malah menjadikan peta konflik di Filipina Selatan ini bergeser dari konflik etnik menjadi konflik separatis.

Munculnya MILF dan Abu Sayyaf Group (ASG) yang menentang ARMM sebagai bentuk ketidakpuasan atas kesepakatan tersebut menandai semakin sulitnya mengatasi konflik di kawasan ini.

Implikasi nyata dari keadaan itu ialah luluh-lantaknya ekonomi masyarakat serta bobroknya sistem pendidikan di sana.

Anak-anak usia sekolah mengalami kesulitan dalam memperoleh akses pendidikan yang layak disebabkan situasi keamanan yang relatif tidak kondusif akibat konflik berkepanjangan.


Yayasan Sukma-Mindanao

Dunia pendidikan Aceh patut berterima kasih kepada Yayasan Sukma yang berkontribusi di bidang pendidikan pascatsunami dan mendirikan 3 Sekolah Sukma Bangsa di tiga kabupaten, yaitu Pidie, Bireuen, dan Lhokseumawe.

Kontribusi tersebut telah memberikan warna tersendiri bagi pendidikan Aceh.

Pemberian beasiswa secara penuh ditunjang dengan fasilitas yang memadai terhadap anak-anak korban konflik dan tsunami di awal berdirinya sekolah ini telah mengantarkan mereka pada dimensi yang berbeda, yaitu dimensi ketika mereka menemukan kembali ruang semangat untuk merajut mimpi setelah sempat terpuruk di bawah puing-puing konflik dan tsunami.

Dikenal sebagai sekolah jujur, Sekolah Sukma Bangsa memberi nuansa pendidikan karakter yang cukup kental.

Pendidikan jujur merupakan agenda utama proses pembelajaran di sekolah ini.

Kini, anak-anak Aceh yang menjadi alumni Sekolah Sukma Bangsa telah tersebar di berbagai universitas-universitas lokal maupun nasional untuk merangkai kisah sukses masing-masing.

Mereka diharapkan mampu menjadi calon-calon pemimpin potensial di masa depan yang akan membangun Aceh ke arah yang lebih baik.

Sepuluh tahun sudah Yayasan Sukma berkiprah di dunia pendidikan Aceh.

Sebuah proses tak terduga di tahun ini telah mengantarkan Yayasan Sukma pada ekspansi pendidikan lintas negara.

Semboyan from Aceh to Indonesia yang bergaung pada ulang tahun ke-9 Yayasan Sukma di tahun lalu kini berubah menjadi from Aceh to the world.

Ekspansi pendidikan dengan memilih anak-anak Mindanao untuk diberi beasiswa pendidikan di Sekolah Sukma Bangsa Aceh menjadi kejutan tersendiri.

Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma yang juga merupakan aktor di balik pembebasan WNI yang disandera Abu Sayyaf Group (ASG) beberapa bulan silam, menjadi simpul cerita di balik kerja sama pendidikan ini.

Perjalanan riset tentang perdamaian dan resolusi konflik di Filipina selatan beberapa tahun lalu mengantarkan kembali Baedowi untuk melakukan proses asesmen terhadap penyanderaan 14 WNI yang terjadi beberapa waktu lalu.

Tak disangka, proses yang awalnya hanya sebatas asesmen mampu membawanya hingga ke meja negosiasi pembebasan sandera.

Tawaran beasiswa pendidikan yang diajukan Baedowi kepada anak-anak para penyandera disambut positif.

Meskipun terdengar aneh, misi kemanusiaan melalui jalur pendidikan itu memiliki tujuan mulia serta implikasi futuristis.

Sebanyak 25 Anak Mindanao yang direkrut untuk bersekolah di Sekolah Sukma Bangsa Aceh merupakan anak-anak yang berasal dari faksi-faksi berbeda.

Seringnya pertikaian antarfaksi di sana menjadi basis langkah ini diambil.

Selain bertujuan memberikan akses pendidikan yang layak bagi mereka, program ini juga diharapkan mampu menjadi jembatan rekonsiliasi antarfaksi di masa mendatang sehingga mampu bersinergi membangun pendidikan di Mindanao agar menjadi lebih baik demi generasi yang lebih baik pula.

Mungkin masih ada pihak yang skeptis dengan program ini karena merasa masih banyak anak-anak lokal yang dinilai lebih pantas mendapat beasiswa daripada anak-anak Mindanao.

Rasanya apa yang diutarakan Louis Pasteur, ahli kimia berkebangsaan Prancis, patut ditelaah dan dicermati.

"Science knows no country because knowledge belongs to humanity, and is the torch which illuminates the world."

Melalui program kerja sama pendidikan ini pula, Aceh dapat menunjukkan panggung sebagai referensi internasional khususnya Filipina dalam mengatasi polemik konflik terhadap separatis.

Aceh yang sudah cukup kenyang dengan pengalaman konflik seyogianya menjadi rujukan negara-negara di dunia tentang bagaimana mewujudkan perdamaian.

Hari ini (29/8), 25 peserta didik dari Mindanao dijadwalkan akan tiba di Aceh.

Tentu perbedaan budaya serta bahasa akan menjadi tantangan terbesar bagi mereka untuk beradaptasi di lingkungan yang baru.

Sebuah Hadih Maja (pepatah khas Aceh) berbunyi peumulia jamee adat geutanyoe, pemulia rakan mameh suara (memuliakan tamu adalah adat kita, memuliakan teman dalam bertutur kata).

Semoga tradisi Aceh dalam memuliakan tamu serta terbuka terhadap hal yang baru dapat memberikan pengalaman berharga bagi anak-anak Mindanao selama mengenyam pendidikan di negeri Serambi Mekah ini.

Pengalaman kultural ketika mereka akan diterima dengan baik serta pengalaman pendidikan yang mungkin dapat mereka ceritakan kepada anak cucu mereka kelak.

Inilah sebuah episode baru relasi pendidikan Aceh-Mindanao.

Marthunis
Guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie,Aceh



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya