Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
AIR mata Engla Lestari, 17, tumpah seusai ia menjalankan tugas sebagai pembawa baki pada upacara peringatan kemerdekaan di Pulau Enggano, Bengkulu Utara, salah satu pulau terluar di Indonesia Barat.
"Setiap langkah saya diiringi doa-doa dan harapan Pulau Enggano bisa mendunia," ucap Engla bergetar saat ditemui seusai upacara, Rabu (17/8).
Kalimat singkat bermakna teramat luas itu menjadi penanda masih tingginya harapan pada tanah kelahirannya yang cuma bisa menikmati listrik dari pukul 18.00 hingga 23.00 itu.
Karena tinggal di pulau yang berjarak tempuh 13 jam lewat perjalanan laut dari Bengkulu, dengan tak adanya jalan aspal di sana, Engla dan kawan-kawannya pun cuma berlatih satu minggu.
"Ini pengalaman pertama. Baru pertama kali jadi paskibra, baru pertama kali baris berbaris. Ikut seleksi dari sekolah dan lolos," kata siswi kelas XI SMA Negeri 1 Enggano itu.
Tanpa akses internet, bahkan tanpa angkot dan buku perpustakaan, mereka mencoba bertahan dengan tetap memupuk harapan. Anak-anak di titik terluar Nusantara itu akan segera mendapat hak atas pendidikan yang layak.
Optimisme generasi di wilayah yang berbatasan laut dengan India itu juga diungkapkan Khusnul Rohim, pengerek bendera. "Jadi, paskibra bagi remaja yang tinggal di pulau ini jadi sebuah cara untuk eksis dan bisa terus optimistis," kata Khusnul.
Latihan sepekan
Sepekan saja, di bawah bimbingan Partono serta para anggota Kodim 0423 Bengkulu Utara lain, mereka berlatih keras. Selain harus paham dan terlatih soal cara berdiri, berjalan, hingga menjaga mimik muka, mereka pun harus berjibaku dengan jarak. Mereka harus sampai lokasi latihan tanpa terlambat, pagi hingga sore, setiap hari.
"Akan tetapi, ternyata semua gerakan mereka sempurna. Saya puas. Saya bangkitkan mereka semangat juang, mental disiplin mereka, keterampilan mereka untuk baris berbaris. Mari kita tunjukkan Pulau Enggano!" kata Partono.
Gambaran Nusantara
Kisah tentang ikhtiar untuk bertahan anak-anak muda Enggano, berhadapan dengan kenyataan, dan derap pembangunan yang belum mampu mengatasi tantangan keterpencilan menjadi bagian dari wajah Indonesia lewat jejak paskibra.
Di Jakarta, dengan kilatan lampu kamera, para pengibar bendera punya cerita sendiri.
"Semua orang memperbincangkan mereka, bahkan selama beberapa hari ini kalian menjadi trending topic di media sosial. Semua sudah berterima kasih kepada kalian," kata Imam Nahrawi, Menteri Pemuda dan Olahraga dalam acara Penutupan Diklat Paskibraka Nasional 2016, di Cibubur, Jakarta Timur, Rabu (24/8).
Para anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) 2016 itu merayakan kisah akhir sebagai anak-anak muda yang paling menyedot perhatian Indonesia, dengan memamerkan baju adat dari tiap-tiap provinsi. Mereka menyanyikan lagu daerah, menari Saman, dan tari Poco-Poco.
Mereka yang bersosok tegap kemudian menahan haru karena setelah intens beraktivitas bersama selama sebulan, dalam hitungan beberapa jam kemudian, akan berpisah.
"Aku enggak kuat, apalagi harus pisah sama semuanya besok. Semuanya sudah saya anggap keluarga" kata Fitri Faujiah, kelas 2 SMAN 2 Rantau Selatan, Rantau Prapat, Sumatra Utara.
Haru dan geli
Cerita tentang latihan untuk mengibarkan sang Merah Putih di Istana Negara dengan sempurna kemudian diwarnai dengan kenangan menggelikan dan mengharukan. "Asyik berkumpul dengan yang berbeda karakter dari beberapa provinsi, jadi bisa ngikutin logatnya. Satu hari pisah sama teman-teman saja rasanya udah kangen," kata Jeanne Rahmawati Sari, siswa kelas 2 SMAN 3 Samarinda, Kalimantan Timur.
Sementara itu, Bima Arivaza Danurahman, siswa kelas 2 SMAN 1 Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, punya cerita menggelikan yang akan terus dibawanya hingga pulang ke tanah kelahiran.
"Dalam satu minggu ada kali 3 hingga 4 kali, satu temanku muncul ke kamar hanya untuk minta odol, sabun atau korek kuping. Awal-awal terasa aneh, tapi sekarang sudah bisa dan mungkin menjadi hal yang paling dikangenin darinya," kata Bima.
Bima juga mengaku dirinya paling cerewet daripada teman-temannya menjelang pengibaran. Seperti diketahui para paskibraka yang dibagi menjadi 2 tim tidak mengetahui tim mana yang akan bertugas saat pengibaran atau penurunan bendera, termasuk pembawa baki, pengerek bendera, dan yang lainnya. Mereka hanya diberi waktu beberapa jam untuk mempersiapkan mental dalam posisi tertentu.
Untuk mengatasi ketegangan, sebenarnya semua peserta telah dibekali trik, seperti melakukan tarik napas panjang, mengosongkan pikiran, dan tetap fokus. Dalam pelatihan selama sebulan, mereka pun diberi beberapa materi kemandirian hingga kepemimpinan pada malam hari seusai latihan peraturan baris berbaris (PBB).
Hasilnya, mereka berlatih dalam berbagai kondisi, seperti panas dan hujan. Ini pun terbayarkan oleh pengibaran sang Merah Putih yang berkibar gagah di ujung tiang. Kegembiraan tentu telah tergambar di hati mereka saat menyaksikan pengibaran berjalan lancar. "Saat kami melihat tayangan ulang di aula Istana Merdeka, aku heran dan terkejut bisa sekeren dan serapi itu, bagus banget," kata Jeanne.
Bukan hanya Jeanne, Bima dan Reyvalino Sasiang, siswa kelas 2 SMA Tahuna, Sangihe, Sulawesi Utara, pun merasakan pengalaman istimewa untuk tembus menjadi paskibraka tingkat nasional. Bima harus mengambil rapor yang ada di sekolahnya sebagai persyaratan mengikuti seleksi, padahal saat itu waktu untuk mengumpulkannya sudah mepet dan kondisi sekolahnya sudah sepi dan terkunci. "Demi paskibraka, aku mengambil rapor di lemari sekolah hanya untuk memfotokopinya, setelah selesai aku simpan lagi," kata Bima.
Bima memang akan melakukan apa saja untuk jadi paskibraka, apalagi ayahnya yang seorang anggota Polri sangat memotivasinya untuk mengejar cita-cita masuk di Akademi Militer Angkatan Darat. Sementara itu, Reyvalino, seorang putra tukang bangunan yang kadang ikut bekerja ini, punya keinginan besar membanggakan orangtuanya lewat paskibraka. "Aku juga suka bekerja membantu ayahku, angkut-angkut ngambil barang atau kegiatan lainnya. Aku ingin sekali orangtuaku bangga dengan prestasiku," kata Reyvalino.
Lanjutkan sekolah
Sekarang, ke-68 anggota paskibraka itu sadang mengejar ketertinggalan pelajaran selama satu bulan. Ya, ini risiko yang harus mereka ambil ketika memilih jadi pengibar sang Saka Merah Putih. Namun, mereka melakukannya dengan senang.
"Ulangan harian sudah menumpuk, pelajaran juga sudah tertinggal, kami harus mengejar semua itu," kata Jeanne. Mereka kini lebih fokus belajar dan mengejar cita-cita karena ke mana pun pendidikan yang ditempuh nantinya, mereka akan diberi rekomendasi oleh pemerintah.
"Tujuan paskibraka jangka pendek memang mengibarkan bendera di Istana. Namun tujuan selanjutnya, menyiapkan pemimpin bangsa," kata Subagyo, sang pembina. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved