Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
SUARA mesin generator langsung terdengar tak lama matahari kembali ke peraduannya. Suasana Desa Nubahaeraka, Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), berubah menjadi gelap gulita. Secara perlahan mulai terlihat secerca cahaya dari lampu-lampu kecil di rumah-rumah warga.
Sayangnya, cahaya yang dinikmati oleh 102 kepala keluarga (KK) itu hanya tiga jam. Pukul 21.00, sudah tidak ada cahaya dari lampu-lampu dan generator pun kembali diam.
Sejak 2002 warga Desa Nubahaeraka bisa menikmati listrik selama 3 jam saja. Satu generator mampu menerangi 20 rumah. Saat ini ada sekitar 2 generator yang ada di desa, salah satunya milik Kepala Desa Nubahaeraka, Andreas Baha Luon.
Sebelum ada warga yang memiliki generator, mereka menggandalkan pelita untuk bisa melihat dalam kegelapan. Pelita itu pun terbuat dari kaleng bekas sebagai penampung minyak dengan sumbu kapas dari hasil kebun. Selain itu untuk di berjalan di waktu malam warga menggunakan obor.
"Sudah beberapa tahun pakai genset. Itu karena ada warga yang pulang dari Malaysia dan beli genset," ujar Mama Theresia kepada Media Indonesia, Minggu (14/8). Untuk menutupi biaya bahan bakar minyak (BBM) generator, warga urunan. Setiap rumah dengan tiga lampu membayar Rp47 ribu per bulan, sedangkan yang menambah televisi dan radio dikenai biaya Rp80 ribu per bulan.
"Dulu Rp30 ribu, tapi naik jadi Rp47 ribu karena minyak di Lewoleba (Kabupaten Lembata, NTT) naik," ujar Mama Theresia.
Andreas Baha Luon mengaku hingga kini belum pernah ada pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang datang guna membahas listrik di desa mereka. Ia mengaku sempat ada pembicaraan untuk menyalurkan listrik dari Desa Atakore, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata, sayangnya belum ada realisasi.
"Katanya 2016 akan ada listrik dari PLTD (pembangkit listrik tenaga diesel) dari Desa Atakore, tapi hingga kini belum ada tanda-tanda juga," ujar Andreas. Walaupun ada pasokan listrik dari PLTD, kata Andreas, hanya bisa dinikmati pukul 18.00-23.00 Wita.
Matahari
Setahun terakhir mereka mulai mengenal listrik tenaga surya dari program Ibu Inspirasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Kopernik. LSM yang berbasis di Ubud, Bali, itu sengaja menyasar para kaum hawa untuk menggunakan teknologi tepat guna, salah satunya lampu tenaga surya.
Pemilihan perempuan bukan tanpa dasar. Pasalnya, perempuan bertanggung jawab atas aktivitas rumah tangga.
Semua itu berawal dari kunjungan Elisabeth Nogo Keraf atau yang disapa Mama Elis ke rumah Mama Luku di Larantuka, NTT. Mama Elis yang melihat lampu tenaga surya yang terpasang di rumah Mama Luku langsung tertarik mencobanya. Setelah menikmati cahaya, Mama Elis pun mulai mempelajari produk-produk tepat guna lainnya. Dia pun langsung tertarik untuk bergabung dan berupaya membantu warga desa yang lain. Selain itu, mereka juga bisa berhemat dalam pengeluaran.
"Setiap warga bisa mendapatkan lampu yang mereka inginkan dengan cara mengangsur. Satu produk bisa diangsur selama dua bulan. Pada saat panen, mereka bisa membeli produk yang diinginkan," ujar Mama Elis yang mengaku senang melihat warga lain bisa melihat di Desa Nubahaeraka, Minggu (14/8).
Bila diperhatikan di beberapa rumah, warga di Desa Nubahearaka memiliki panel surya di atap rumahnya. Satu panel itu mampu untuk menyalakan tiga lampu. Tidak hanya itu, sejumlah lampu lainnya yang lebih mudah dibawa juga cukup dijemur di bawah sinar matahari untuk bisa menerangi selama 4-100 jam.
Dampak yang dirasakan
Sejak kehadiran lampu itu, sejumlah masyarakat sudah mulai merasakan dampaknya. Seperti Vincensius Nuba, selaku seketaris desa (sekda), mampu mempersingkat pekerjaan administrasi desa sehingga pelayanan untuk masyarakat bisa lebih cepat.
"Bila dulu pekerjaan administrasi diselesaikan 3-4 hari karena pukul 21.00 sudah mati listrik, sejak ada lampu ini saya bisa menyelesaikan pekerjaan itu dalam waktu satu hari saja," ujar Vincensius yang rela menyelesaikan tugasnya hingga pukul 2 dini hari.
Maria Monica, bidan, mengaku lebih mudah memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat, terutama bagi para ibu yang mau melahirkan sehingga Maria bisa langsung ke tempat pasien.
"Pasien yang datang bervariasi waktunya. Ketika ada pasien yang harus dirujuk ke puskesmas kecamatan kehadiran lampu tenaga surya dapat membantu untuk mengantarkan pasien di saat malam hari," ungkapnya.
Secara ekonomi pun, warga juga merasakan keuntungannya. Seperti Agustina yang mencari nafkah dengan membuat jagung titi, jagung pipih mirip emping. Satu setoples sekitar 1 kilogram dijualnya Rp8.000. "Dulu cuma bekerja sampai pukul 21.00, kalau pakai pelita tidak mungkin karena selalu mati karena ada angin saat memukul jagung. Sejak ada lampu ini bisa lebih lama lagi bekerjanya," ujarnya.
Kehadiran lampu-lampu itu pun turut membantu anak-anak saat belajar di malam hari sehingga kesempatan mereka untuk belajar lebih besar.
Kehadiran lampu-lampu itu menjadi alternatif bagi daerah-daerah yang tidak memiliki listrik. Apalagi bagi daerah yang memiliki limpahan sinar matahari yang banyak. Tidak heran saat ini pemerintah provinsi (Pemprov) NTT mencoba membangun pembangkit listrik yang menggunakan energi baru terbarukan (EBT) untuk desa-desa terpencil.
Pemerintah Kabupaten Lembata kini berkoordinasi dengan PT PLN (persero) dan Dinas ESDM untuk perluasan jaringan listrik di Lembata. Diharapkan dengan kerja sama itu, pada 2018 seluruh desa di Lembata terealisasi.(M-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved