Petani Kecil di Kawasan Hutan Gambut belum Diperhatikan

Soelistijono dari Kuching, Malaysia
18/8/2016 12:53
Petani Kecil di Kawasan Hutan Gambut belum Diperhatikan
(Ilustrasi/Antara)

KEBIJAKAN dari setiap negara yang memiliki lahan gambut seharusnya tidak hanya mengatur dan memberi konsesi kepada korporasi. Namun, yang juga sangat penting ialah menolong para petani/pekebun (smallholder) yang sudah lama hidup di lahan gambut itu.

Penekanan pada nasib petani yang harus menjadi perhatian negara tersebut dilontarkan oleh peniliti asal Singapura Khor Yu Leng saat menyampaikan makalah "Haze Control and the Oil Farm Farmer" dalam International Peat Congress (IPC) ke 15 di Kuching, Malaysia, Kamis (18/7).

Leng yang telah mengadakan penelitian lahan gambut ditinjau dari sosial-ekonomi di Malaysia dan Indonesia, itu menjelaskan bahwa dirinya belum melihat pemerintah juga fokus menempatkan nasib petani di lahan gambut.

"Pertanyaannya ialah bagaimana Anda menolong para petani di lahan-lahan konsesi," ujarnya.
Menurut dia jika persoalan ini diabaikan maka permasalahan manajemen atau pengelolaan lahan gambut akan tidak ada gunanya dan riskan terjadi konflik sosial serta kebakaran hutan.

Temuan Leng yang cukup mencengangkan ialah kebakaran hutan yang terjadi selama ini, seluas 60 persen berasal dari luar lahan konsesi perusahaan.

Adanya kebijakan pemerintah bahwa masyarakat diperbolehkan membuka lahan seluas dua hektare juga belum membantu peningkatan kesejahteraan petani kecil. "Apakah itu cukup, apakah lebih tinggi dari upah minimum yang juga penting akan dibawa kemana sesungguhnya petani kecil tersebut yang di Indonesia ada sekitar 25 juta jiwa yang hidup di sekitar kawasan hutan.''

Permasalahan akan semakin rumit lagi jika ada warga baru pendatang, seperti yang banyak terjadi di Sumatra dan Kalimantan. "Bagaimana kontrolnya di areal hutan yang sangat luas tersebut," ucapnya.

Tidak cukup di situ, keterlibatan pelaku usaha baru di bidang kehutanan juga sering memanfaatkan para petani kecil tersebut untuk mencari lahan tanam, terutama sawit dengan cara mudah yakni menebang hutan atau membakar semak atau lahan gambut pada saat kemarau.

"Seharusnya petani kecil sebagai input dalam proses pembuatan kebijakan sehingga pengelolaan lahan gambut atau hutan semakin holistik,'' katanya.

Turunkan emisi

Dalam presentasi terpisah, Luli Melling peneliti lahan gambut dari Malaysia berbagi pengalaman dalam presentasinya "Enverironmental Management of Tropical Peatland" membenarkan pentingnya ada kebijakan yang holistik dari negara terkait pengelolaan lahan gambut.

Dalam penelitiannya di Sarawak, dia menjelaskan, seperti halnya, lahan gambut di wilayah Asia Tenggara kini sedang menghadapi tantangan terkait kebutuhan lahan pertanian untuk memenuhi pangan, sosial, dan ekonomi.

Untuk memenuhi kebutuhan ini, pemerintan di Sarawak dan asosiasi terkait membangun pertanian ramah lingkungan dengan pendekatan holistik dengan memperhatin persoalan lingkungan.

Melling mengatakan pengelolaan pertanian lahan gambut harus juga memperhatikan proses-proses ekologi tanah, serta interaksi antara kultur teknis agronomi dan lingkungan. Pengelolaan agroekosistem ini berbasis pada prinsip-prinsip drainase, pemadatan, dan pengelolaan air untuk mengintrasikan kebutuhan pertanian, alam, lingkungan untuk kesejahteraan.

Dalam penelitiannya yang dilakuan di perkebunan kelapa sawit tanah gambut, hutan rawa gambut sekunder, dan hutan rawa gambut, dijelaskan bahwa pemadatan pada tanah tidak mengganggu ekosistem. Alasan dia peningkatan kepadatan masa tanah (bulk density), dan daya dukung tanah gambut untuk mengurangi “tanaman doyong” ternyata menurunkan pencucian hara tanah, serta meningkatkan hasil panen.

"Pemadatan secara mekanis, juga membawa keuntungan lain seperti penurunan emisi CO2 dan penurunan resiko gambut terhadap kebakaran karena pori-pori tanah gambut yang lebih kecil sehingga meningkatkan daya kapilaritas tanah, sehingga tanah tetap lembab," ujarnya.

Kelembaban tanah yang tinggi karena meningkatnya kepadatan masa tanah ternyata juga menurunkan emisi CO2 di tanah gambut yang dibudidayakan.

Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian tanah gambut yang dipadatkan dan yang tidak dipadatkan, yang dibandingkan dengan hutan rawa gambut sekunder dan hutan rawa gambut yang tidak terganggu.

Keberhasilan dalam penerapan system pengelolaan agroekosistem berbasis lingkungan pada tanah gambut budidaya merupakan terobosan yang sangat baik untuk menjembatani kepentingan produksi dan aspek lingkungan berdasarkan sintesa ilmiah, hasil penelitian, dan serta pemahaman tentang gambut itu sendiri.(X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Victor Nababan
Berita Lainnya