Buta Struktur Anggaran(?)

Ahmad Baedowi
15/8/2016 05:20
Buta Struktur Anggaran(?)
(MI/ADAM DWI)

TIDAK sah rasanya jika menteri baru tak punya sensasi baru.

Belum genap seminggu menjabat, wacana tentang full day school yang didengungkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy sontak memunculkan pro dan kontra yang, seperti biasanya, semua stakeholder merasa perlu berpendapat.

Tak sedikit juga yang bertanya ke saya tentang gagasan Menteri Muhadjir, apakah benar akan direalisasikan serta bagaimana konsepnya.

Saya sendiri pada saat mendengar wacana tersebut tak langsung bisa memberikan respons karena gagasan utuhnya belumlah ada.

Mungkin academic paper-nya juga belum dibuat sehingga sebagai sebuah gagasan yang diwacanakan seorang menteri agak aneh jika tak didukung dengan academic paper.

Atau Menteri Muhadjir sedang testing the water dengan cara mencuri perhatian publik?

Sekali lagi, sebagai tokoh tertinggi pengambil kebijakan di bidang pendidikan, sudah selayaknya seorang menteri ingin menguji publik dengan sebuah gagasan tanpa ada asesmen terlebih dahulu.

Apalagi itu dilakukannya di pekan pertama dia menjabat, pasti beberapa praktisi dan pemerhati pendidikan akan mempertanyakan alasan akademik dari pernyataan tersebut.

Wacana atau gagasan yang dikemukakan jelas sekali memperlihatkan kebutaan seorang menteri terhadap struktur dan postur anggaran yang ada di kementeriannya karena untuk setiap gagasan yang hendak dijadikan kebijakan pastilah membutuhkan konsekuensi anggaran yang tidak ringan.

Karena itu, wajar ada banyak pemerhati dan praktisi pendidikan yang mengatakan Pak Muhadjir jangan-jangan buta terhadap struktur anggaran yang ada di kementeriannya.


School funding

Isu pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan kebijakan 20% anggaran pendidikan kita yang, meskipun sudah berlangsung hampir 15 tahun, tetap saja tak memberikan pengaruh yang signifikan dalam kualitas layanan pendidikan kita.

Kajian tentang pembiayaan sekolah (school funding) menjadi relevan karena sistem pendidikan kita belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah.

Isu pembiayaan sekolah bermutu (school quality funding) masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah untuk tiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidikan.

Perdebatan yang ramai dibicarakan para praktisi, birokrat, dan politisi di sekitar pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya, tetapi belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan penjaminan mutu (quality assurance).

Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan UU dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan lagi kebutuhan siswa.

Dalam konteks itu, pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar.

Di Sekolah Sukma Bangsa, setiap anggaran digunakan dengan sistem keranjang (bracket system), yaitu titik tekan anggaran ada pada kesepakatan guru dan siswa dalam mendesain skema belajar-mengajar.

Hasilnya anak-anak menjadi sangat betah untuk tinggal di sekolah, bahkan ketika jam sekolah telah usai.

Secara perlahan, meskipun tidak dimaksudkan sebagai full day school, anak-anak di SSB, dengan sepengetahuan orangtua mereka, betah dan selalu ingin bertahan tinggal di sekolah karena proses belajar menjadi bagian dari kesepakatan penciptaan budaya sekolah yang menyenangkan.

Selain budaya sekolah, pemerintah juga perlu menghitung secara cermat sumbangan orangtua terhadap pendidikan.

Lemahnya partisipasi masyarakat dalam dunia pendidikan kita merupakan hasil cara pandang para politikus dan birokrasi pendidikan kita yang terus mengumandangkan sekolah gratis sebagai jargon politik semata.

Matthew Martin (2007) dalam A Literature Review on the effectiveness of Financial Education, misalnya, menyebutkan hampir 40% anggaran pendidikan di Amerika berasal dari partisipasi masyarakat.

Hal itu disebabkan hampir semua perencanaan anggaran pendidikan disusun sekolah masing-masing, dengan supervisi yang ketat oleh seluruh pemangku kepentingan sekolah terutama orangtua dan masyarakat.

Melalui komite sekolah yang kuat, sebuah sekolah berhak menyusun kebutuhan mereka sendiri berdasarkan asumsi kemampuan masyarakat setempat serta komponen apa saja yang bisa dibiayai masyarakat sendiri.

Mereka bahkan bisa memutuskan berapa standar gaji guru yang harus dibayar sekolah, bagaimana professional development teacher harus dikembangkan, serta jenis-jenis pembiayaan lainnya yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar dan infrastruktur sekolah.

Meskipun sejak 2009 Indonesia telah memiliki anggaran pendidikan 20% dari total APBN, distribusi dan prioritas pembangunan pendidikan belum dilakukan secara efektif.

Krisis global yang terjadi saat ini juga ikut membawa dampak serius pada kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan layanan pendidikan.

Sementara itu, secara politis anggaran 20% rawan dikorupsi karena postur anggaran pendidikan kita belum memiliki pola distribusi yang sehat akibat masih dihitung berdasarkan jumlah individual guru dan siswa seperti terdeteksi dengan kebijakan BOS.

Karena itu, ada baiknya anggaran 20% yang telah disediakan pemerintah saat ini juga digunakan untuk memberdayakan peran serta masyarakat di tingkat sekolah, dengan sebanyak mungkin melatih komunitas sekolah mendesain perencanaan pembiayaan sekolah mereka masing-masing.

Distribusi anggaran pendidikan kita jangan sampai terjerumus ke persoalan yang tak pernah habis, yaitu pembangunan fisik sekolah yang rawan korupsi dan manipulasi.

Hal ini tentu saja tidak mendidik masyarakat untuk menjadi lebih mandiri.

Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya