Persatuan yang Lebih Riil daripada Nasionalisme

MI
14/8/2016 13:11
Persatuan yang Lebih Riil daripada Nasionalisme
(MI/Ardi Teristi Hardi)

KEBERAGAMAN dan nasionalisme merupakan hal penting bagi Indonesia. Namun, keduanya dinilai tidak terkait. Begitulah yang dihayati sastrawan dan budayawan Radhar Panca Dahana.

Kepada Media Indonesia, Jumat (12/8), Radhar melihat nasionalisme sebagai konsep yang dipinjam dari Eropa. Konsep itu memang bisa melahirkan persatuan, tapi bukan sesuatu yang nyata, melainkan seperti harapan atau angan-angan, yakni kesamaan tujuan dan kemauan hidup bersama.

Sementara itu, keberagaman justru melahirkan persatuan yang lebih nyata. Keberagaman membuat bangsa Indonesia mempunyai tenggang rasa sejak lahir. Dengan kata lain, kesadaran keberagaman merupakan keniscayaan, bukan sesuatu yang dibuat-dibuat.

Radhar menilai hal itu juga merupakan anugerah dari bentuk negara yang bahari. Tanah Indonesia menjadi tempat bertemu beragam etnik dan suku sehingga masyarakat pun terbiasa dengan keberagaman.

Malah, masyarakat pun memahami keberagaman itu pula yang membuat mereka bisa hidup. Dari sinilah lahir kesadaran multikultural. "Aku ada karena kamu ada. Kamu ada karena aku ada. Ada aku dalam dirimu. Ada kamu dalam diriku. Itulah persatuan kita itu di situ. Enggak ada urusannya dengan nasionalisme," tutur Radhar.

Sebab itu pula, lanjut pria berusia 51 tahun ini, konsep eksistensi masyarakat bahari berbeda dengan eksistensi Eropa yang menonjolkan kompetisi. Masyarakat bahari lebih menyukai kerja sama.

Dalam perayaan HUT kemerdekaan, eksistensi kerja sama tergambar dengan baik dalam lomba panjat pinang. "Kalau lomba di kita, itu enggak ada (kompetisi). Kemenangan menjadi milik bersama. Maka dari situ pula enggak masalah orang Jawa ditempati orang Madura, orang Sumatra dan lain-lain. Begitu pun sebaliknya. Mereka pun hidup damai. Selama tidak mengganggu cara hidup sesuai dengan tradisi," terangnya.

Sayangnya, kesadaran keberagaman sekarang mulai terkikis akibat nilai-nilai asing, seperti kebebasan individual, HAM, dan feminisme yang kebablasan. Ditambah adanya faktor politis, gengsi, dan keinginan meraih keuntungan. Hal-hal tersebut kemudian melahirkan konflik agama ataupun etnik.

Mulai lunturnya nilai-nilai atau filosofis asli bangsa juga dikatakan Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian, Kerja Sama, dan Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Arqom Kuswanjono. Selain itu, menurutnya, konflik terjadi akibat ada kelompok masyarakat yang tidak menerima keberadaan Pancasila, ataupun tidak melaksanakannya di kehidupan sehari-hari.

Menurut Arqom, penyelesaian konflik bisa dilakukan dengan kembali ke konsep asli bangsa, yakni musyawarah. Namun, semua pihak juga harus melepaskan dominasi supaya bisa mendengar pendapat orang lain. "Jika ada yang merasa dominan atau lebih tinggi, tidak akan jadi musyawarah itu," terangnya. Selain itu, musyawarah juga harus dilakukan dengan akal sehat dan rasionalitas yang jernih, bukan menggunakan emosi. (Zuq/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya