Potret Promosi Keberagaman

Ferdian Ananda Majni
14/8/2016 12:40
Potret Promosi Keberagaman
(MI/Ferdian Ananda)

GAMPONG PEUNAYONG, Banda Aceh, punya nama lain sejak setahun lalu. Gampong Keberagaman, begitulah nama baru itu tertera di papan nama kawasan.

Warna merah kuning serta bentuk huruf yang bernuansa aksara 'Negara Tirai Bambu' jelas mengesankan bahwa ada banyak keturunan etnik Tionghoa di sana. Memang, wajah-wajah oriental sangat mudah ditemui di sana karena mereka berbaur dengan warga asli Aceh. Warga keturunan pula yang nyatanya punya andil besar untuk penamaan yang positif itu.

"Timbul inisiatif untuk menamai, bukan hanya menamai, melainkan bagaimana keberagaman tetap terjaga dengan baik meski selama ini sudah sangat baik, yaitu tidak konflik internal yang berarti di sini. Kita hanya ingin mempertajam saja, mengajak aparatur desa dan pemuda desa, berdirilah Gampong Keberagaman," tutur Ketua Perhimpunan Komunitas Tionghoa Aceh (Yayasan Hakka) Kho Khie Siong saat ditemui Media Indonesia, di Vihara Sakyamuni, Peunayong, Kamis (11/8).

Pria yang akrab disapa Aki itu menuturkan keberagaman di gampong itu juga terdiri atas suku Gayo, Jawa, dan Batak. Jejak suku-suku itu sudah cukup lama. Mereka datang ke gampong itu, yang memang ibarat gula, karena tempat perdagangan yang strategis.

Kawasan Peunayong merupakan sentral utama pasar primer warga Banda Aceh. Secara administratif, kawasan itu masuk Kelurahan Peunayong, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh.

Dari Masjid Baiturrahman, Peunayong berjarak sekitar 2 kilometer ke arah utara. Letaknya juga tidak jauh dari tepi Krueng Aceh di sebelah barat dan sekitar 4 kilometer ke arah utara ialah laut Selat Malaka.

Leluhur Aki pun dipercaya telah datang ke Peunayong sejak sekitar abad ke-17 Masehi. Dari mereka pula, ia tahu bahwa kawasan itu dulu disebut Bandar Peunayong.

Kini ada sekitar 1.000 lebih kepala keluarga (KK) etnik Tionghoa yang tinggal di kawasan itu. Mereka terdiri atas empat suku, Hakka atau Khek, Hainan, Konghu, dan Tio-Ciu.

Pada peringatan Hari Kemerdekaan RI, mereka pun tidak kalah bersemangat membuat acara. Atraksi barongsai dan liung mereka kolaborasikan dengan seudati dan diiringi dengan tabuhan rapai. Banyak pula di antara warga Tionghoa yang sengaja berkumpul ke Blang Padang dan mengikuti upacara bendera.

Tujuan turis
Nama Gampong Keberagaman juga menjadi daya tarik wisata. Tukang becak kini tidak hanya mengajak para turis ke tempat-tempat bersejarah, tetapi juga ke gampong itu.

Saat dilihat, kebanggaan pun muncul di hati warga gampong. "Secara tidak langsung ini akan mempromosikan Aceh. Aceh yang katanya angker tapi sangat damai dan toleran terhadap kaum minoritas," ujar Aki.

Sementara itu, penganut agama Hindu di Gampong Keudah, Banda Aceh, Rada Krisna, mengaku terlibat dalam setiap kegiatan Gampong Keberagaman. Meski demikian, toleransi dan hubungan antarkedua gampong itu terjalin erat. Pemuda Gampong Keudah pun sudah ikut merawat toleransi antaretnik dan agama.

Contoh nyata ada di upacara Maha Puja Pangguni Uthiram di Kuil Palani Andawer, beberapa waktu lalu. Upacara yang diikuti ratusan warga etnik Tamil bisa berlangsung meriah dan lancar juga berkat bantuan pemuda setempat yang menyukseskan ritual keagamaan itu.

"Pemuda di sini sangat kompak. Saya selalu dibantu mereka, misalnya pada perayaan ritual Puja Pangguni, mereka mencari pohon pisang dan membantu pengamanan dan arus lalu lintas di depan kuil," sebutnya.

Toleransi di Yogyakarta
Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), kawasan Malioboro memberikan contoh nyata bahwa toleransi keberagaman di sana masih jauh lebih kuat daripada percikan-percikan konflik yang terjadi belakangan ini.

A Sri Mulatsih, warga Malioboro kelahiran 1947, ialah salah satu saksi 'ademnya' kawasan yang dihuni etnik Jawa, Tionghoa, Padang, Sunda, hingga Arab itu. "Tidak pernah ada masalah, yang mau salat ke masjid ya ke masjid. Yang mau ibadah di gereja ya ke gereja. Sesuai keyakinan masing-masing saja," kata perempuan yang pernah menjadi Ketua RW 11 selama dua periode itu, Kamis (11/8).

Chang Wendryanto pun menyatakan hal yang sama. "Siapa pun yang masuk (ke kawasan Malioboro) dengan niat baik pasti akan diterima," kata dia.

Lelaki berusia 50 tahun itu mengaku telah hidup di kawasan Malioboro sejak lama. Walau namanya menyiratkan identitas Tionghoa, akulturasi budaya telah lama terjadi di keluarganya. Bahkan, ibu dan istrinya orang Jawa.

Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Sunyoto Usman, juga berpendapat bahwa Malioboro ialah potret mulusnya keberagaman di 'Kota Gudeg'. Namun, hal itu bukan tercipta dengan sendirinya, melainkan karena ada kepemimpinan yang merawat kebersamaan.

Kepemimpinan itu ia sebut sebagai pengaruh sultan. Dua faktor lainnya yang memuluskan keberagaman ialah kepentingan ekonomi dan kehidupan sehari-hari yang berkaitan untuk mencapai kepentingan ekonomi tadi.

Dari hasil penelitian Sunyoto yang telah diterbitkan dalam sebuah buku pada 2006 yang lalu, tiga hal tersebut membuat masyarakat di kawasan Malioboro dapat hidup berdampingan dan tidak ada gesekan yang besar. Tiga hal itu pula yang ikut mendukung nasionalisme.

Terkait dengan munculnya gesekan-gesekan di masyarakat Yogyakarta belakangan ini, Sunyoto menilai gesekan itu terjadi akibat perkembangan teknologi dan keterbukaan yang ada di masyarakat. Gesekan tersebut tidak hanya terjadi di DIY, tetapi juga di daerah-daerah lain. "Akibatnya, muncul relativisme, kebenaran yang tidak bisa mutlak sesuai dengan yang dirumuskan elite (tetapi kelompok-kelompok), dan muncul individualisme yang berdasarkan kepentingan sesaat yang sangat pragmatis," pungkasnya. (AT/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya