Lemahnya Birokrasi Pendidikan Kita

Ahmad Baedowi
08/8/2016 05:50
Lemahnya Birokrasi Pendidikan Kita
(MI/ADAM DWI)

TRADISI birokrasi kita hingga saat ini belumlah berubah.

Sejak Orde Baru hingga reformasi, perilaku birokrasi masih tetap sama dan serupa, yaitu bersikap arogan sebagai pejabat publik sehingga mengesankan hanya untuk melayani yang butuh dan tak peduli dengan kebutuhan rakyat kebanyakan.

Potret birokrasi semakin buram karena di tingkat presiden seperti tak paham tali-temali birokrasi yang awal serta ujungnya ada di tingkat pelaksana/staf yang sama sekali tak peduli dengan arah kebijakan yang baru.

Salah satu yang gagal dipahami Presiden dan wakilnya ialah, ketika terjadi pergantian menteri, kebanyakan ego sektoral para menteri langsung mengemuka dengan ketiadaan kesinambungan kebijakan dari menteri sebelumnya.

Memang perlu riset lebih lanjut untuk memetakan kemampuan birokrasi kita hingga ke tingkat bawah.

Saya pernah mengusulkan ide sensitif ketika SBY terpilih sebagai presiden pada periode kedua, dengan calon menteri yang dipanggil ke Cikeas waktu itu dites terlebih dahulu tentang pemahaman kebijakan kementeriannya.

Salah satu tes sederhana ialah tanyalah kepada para calon menteri dan juga menteri yang sekarang, nama-nama pejabat di lingkungannya hingga, minimal, pejabat eselon II beserta ruang lingkup tugas pokoknya.

Saya berani bertaruh tak akan ada satu pun menteri yang hafal, apalagi memahami nomenklatur direktorat dan tahu nama pejabat direktur yang ada di kementeriannya, apalagi hingga ke tingkat eselon III.

Paling banyak menteri hanya tahu pejabat eselon I, dan tak pernah hirau dengan apa yang terjadi di tingkat eselon III sebagai ujung tombak pelaksanaan program kementerian.


Purpose and finish

Maksud saya bercerita soal rusaknya birokrasi di banyak kementerian kita ialah untuk mengatakan perilaku pejabat yang tak peduli dengan pejabat sebelumnya juga ditiru para pejabat di tingkat daerah, bahkan untuk bidang pendidikan, banyak ditiru para kepala sekolah.

Jika seorang kepala sekolah menempati posisi baru di sekolah baru, yang mereka tanyakan bukan program apa yang pernah dikerjakan kepala sekolah sebelumnya, melainkan hanya bertanya bagaimana pengelolaan dana BOS dilakukan.

Bayangkan jika sebuah sekolah dalam 5 tahun terjadi pergantian kepala sekolah sebanyak 3 kali, akan seperti apa sebuah sekolah dalam mengukur kemajuan akademik mereka.

Kriteria dan prosedur pengangkatan kepala sekolah yang tidak jelas membuat nasib sekolah di Indonesia menjadi semakin buruk kualitasnya.

Di banyak daerah kepala sekolah diangkat bukan karena prestasi, melainkan karena kedekatan dengan pejabat dinas pendidikan yang memiliki keterikatan tertentu dengan wali kota atau bupati dari partai politik tertentu.

Karena itu, ketika para kepala sekolah diangkat, mereka tidak bicara tentang rencana kerja, tetapi melihat sisi administratif keuangan sekolah semata.

Hampir tak pernah ada jika terjadi proses pergantian pimpinan/kepala sekolah, ada kepala sekolah yang dengan rinci menulis capaian kinerja mereka dalam sebuah risalah yang disebut memori akhir tugas.

Karena siklus ini semakin hari semakin kentara dan menjadi-jadi, kematian pendidikan hanyalah persoalan waktu.

Neil Postman, dalam The End of Education: Redefining the Value of School (2006), menyebutkan rusaknya sebuah sistem pendidikan disebabkan di tingkat sekolah, para kepala sekolah dan guru-guru gagal dalam memahami tujuan pendidikan secara berkelanjutan.

Dalam pandangan Neil, berakhirnya pendidikan bisa dinisbahkan kepada dua kata, yaitu purpose dan finish.

Para kepala sekolah kita hanya memahami persoalan pendidikan dari konteks keterselesaian (finish), yang melihat jabatan sebagai sebuah perhentian dan pergantian, tanpa ada ketersambungan.

Guru dan orangtua juga terkadang melihat berakhirnya proses pendidikan dengan simbol ijazah dan buku rapor yang berarti selesai (finish), tanpa ada kesadaran tentang ketersambungan.

Dengan melihat proses berakhirnya pendidikan dengan contoh tersebut, kesadaran akan mutu pendidikan pun menjadi terabaikan.

Padahal, sejatinya seorang kepala sekolah merupakan contoh dari pimpinan yang seharusnya memiliki kesadaran tentang tujuan (purpose) jangka panjang pendidikan sehingga asas keberlanjutan menjadi sesuatu yang niscaya.

Jika asas keberlanjutan dipegang secara teguh sebagai sebuah tanggung jawab, ketika sebuah jabatan berakhir, seluruh pernak-pernik program sekolah harus disampaikan secara terbuka agar ada proses keberlanjutan program.

Begitu juga seorang guru, jika proses mengajar disadari sebagai sebuah tujuan berjangka panjang, proses penanaman akal-budi siswa harus menjadi tujuan utama pendidikan, bukan hanya sekadar memberi siswa penilaian ketika ulangan harian, semester, dan ulangan kenaikan kelas hingga ujian akhir.

Kesalahan paradigma itu sangat akut terjadi dalam sistem pendidikan kita.

Karena itu, mari kita bersama-sama mengubah haluan, dari halusinasi pendidikan yang selalu mengejar keberhasilan dalam bentuk ijazah dan hasil akhir ujian nasional menjadi kesadaran berkelanjutan yang mengawal akal budi siswa.

Mari kita ubah paradigma pendidikan yang berorientasi pada hasil (finish) menjadi sebuah kesadaran berkelanjutan (purpose) yang mencintai dan menghargai kerja sama.

Pendidikan kita membutuhkan kesadaran sekaligus kesediaan para kepala sekolah, guru dan orangtua untuk terlibat secara aktif dan bertanggung jawab terhadap masa depan pendidikan anak-anak kita secara benar dan bertanggung jawab.

Kesadaran dan kesediaan untuk bertahan dan percaya bahwa pendidikan ialah proses investasi berjangka panjang yang membutuhkan kerja sama, kesabaran, keuletan, dan kerja keras.

Ada banyak bukti yang dapat membawa kita pada kesimpulan bahwa bangsa ini mencintai kerja keras dan kesungguhan untuk terus mau belajar.

James Tooley (2013) dalam The Beautiful Tree: a Personal Journey into How the World's Poorest People are Educating Themselves, mengonfirmasikan beragam bentuk perlawanan masyarakat miskin terhadap sistem pendidikan dan politik yang tidak berpihak terhadap mereka.

Kehidupan ialah soal menjaga kemungkinan untuk tetap hidup di hati dan kepala setiap orang, dan sistem pendidikan yang baik tentu saja harus mengadopsi beragam kemungkinan, termasuk memelihara asa dan kemungkinan anak-anak agar mau bekerja sama, bekerja keras dan belajar dengan sungguh-sungguh.

Ahmad Baedowi
Direktur Pendidikan Yayasan Sukma,Jakarta



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya