Pembukaan SP3 Karhutla Mendesak

Richaldo Hariandja
03/8/2016 06:00
Pembukaan SP3 Karhutla Mendesak
(ANTARA/Rony Muharrman)

PEMBUKAAN berkas surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang diterbitkan Kepolisian Daerah (Polda) Riau kepada 15 perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan beserta surat pemberitahuan perkembangan hasil penyidikan (SP2HP) kasus tersebut dinilai mendesak untuk dilakukan. Pasalnya, dengan adanya kedua instrumen tersebut, publik dapat mengetahui bukti baru (novum) yang dapat mereka ajukan untuk membuat kasus tersebut dibuka kembali.

Namun hingga kini, berkas SP3 tidak kunjung dibuka dan diterima publik, termasuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas).

“Sangat disayangkan, bahkan berdasarkan informasi yang saya dapat, KSP (Kantor Staf Presiden) pun belum memiliki itu (SP3),” ujar pengacara senior Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Dedi Ali Ahmad saat ditemui seusai memberi berkas pengajuan keberatan terhadap SP3 di Kantor Kompolnas, Jakarta, kemarin.

Oleh karena itu, lanjut Dedi, ia meminta secara khusus agar Kompolnas membantu menyelesaikan kasus itu. Alasannya, Kompolnas memiliki tugas pokok dan fungsi untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di kepolisian.

Menurutnya, meminta bantuan kepada Kompolnas menjadi langkah awal dari serangkaian aksi menuntut keadilan hukum yang hendak dilakukan PBHI beserta dengan aliansi masyarakat sipil lainnya yang merasa dirugikan dengan penerbitan SP3 tersebut.

“Kami meminta agar berkas tersebut dibuka karena itu merupakan hak semua orang. Dalam kasus karhutla semua orang dirugikan, tidak hanya masyarakat Riau,” imbuh Dedi.

Dokumen SP3 dan SP2HP merupakan dokumen yang harusnya dapat diketahui publik. Bahkan, transparansinya, menurut Dedi, dijamin dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukan Informasi Publik. Akan tetapi, langkah untuk mengajukan permintaan berdasarkan UU tersebut akan diambil sebagai opsi terakhir.

“Kalau masih mentok juga di Kompolnas, kami akan ajukan praperadilan SP3 ini,” tambah Dedi.


Kronologi

Koordinator Komite Advokasi PBHI Irfan Fahmi, dalam kesempatan yang sama, meminta Polda Riau membuka kronologi penyidikan terhadap 15 perusahaan yang mendapat SP3 itu. “Masih ingat dengan kasus kopi sianida? Di situ kepolisian membuka kronologi pe­nyidikan kasus tersebut, mulai dari kopi dibuat hingga berakhir di tangan Mirna. Masayarakat tahu, dan bisa memberikan analisis,” terang Irfan.

Oleh karena itu, hal tersebut dinilai Irfan dapat juga diterapkan dalam pe­nyidikan karhutla. Termasuk letak titik api, luasan kebakaran, hingga wilayah konsesi yang menjadi lokasi karhutla. “Jika tidak ada keterbukaan, kita bisa saja terus-terusan berpikir negatif terhadap kasus ini. Seperti penegak hukum yang main mata dengan pemilik perusahaan,” imbuh Irfan.

Sekjen Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR) Isnadi Esman menambahkan, muncul keresahan dari warga Riau terkait dengan penerbitan SP3 tersebut. Menurut dia, alasan yang selama ini berseliweran mengenai penerbitan SP3 dinilai lemah.

Salah satu contohnya, alasan mengenai adanya perusahaan yang sedang dikenai pencabutan izin. Padahal, berdasar data yang dihimpun, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan belum memberikan sanksi administrasi berupa pencabutan izin kepada satu pun perusahaan yang dikenai SP3 itu.

“Sanksi administrasi Kementerian LHK memang penting, tapi pidana juga tak kalah penting, mereka harus berjalan berbarengan. Karena itu, tolong lanjutkan penyidikan,” pinta dia.

Saat menanggapi hal tersebut, Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian LHK Rasio Ridho Sani menyatakan otoritas penerbitan maupun pembukaan dokumen SP3 sepenuhnya berada di kepolisian. Karena itu, ia menyerahkan keputusan tersebut di tangan Polda Riau. “Meskipun demikian, kami akan membantu memperkuat novum jika ditemukan,” ucapnya.(H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya