Gong yang Mengajarkan Kehidupan

Ardi Teristi Hardi
31/7/2016 09:30
Gong yang Mengajarkan Kehidupan
(DOK SAMURTI ANDARA LARAS)

Pakem dan kekinian harus sama-sama direngkuh agar gamelan senantiasa mengalun di penjuru Nusantara.

TAK selalu alunan selaras yang terdengar dari aksi para pemusik gamelan cilik itu di rumah Pardiman Djoyonegoro, yang juga lokasi latihan gamelan. Sesekali terdengar gong yang dipukul tak sesuai dengan komposisi atau laras pelog yang justru tak terdengar karena sang pemain gagal fokus.

Keseruan itu terus berlanjut. Alunan musik yang buat pendengarnya menenangkan itu menuntut konsentrasi dan ketelatenan sekaligus gairah yang tinggi.

"Mengajari anak-anak bermain gamelan harus dengan konsep gembira karena tugas anak-anak itu, ya, bergembira," kata Pardiman, sang tuan rumah yang juga seniman serta guru karawitan, seni gamelan, dan seni suara yang bertangga nada slendro dan pelog di rumahnya di kawasan Bantul, Yogyakarta, Jumat (29/7) sore.

Pardiman yang mengajar gamelan buat orang tua, guru, remaja, hingga anak-anak punya pendekatan berbeda untuk setiap kelompok muridnya. Khusus untuk anak-anak, yang paling penting ditekankan ialah kegembiraan. "Jika tidak gembira, anak-anak akan mudah bosan dan enggan melanjutkan latihan. Alhasil, materi yang diajarkan pun harus disesuaikan dengan anak-anaknya. Saya tidak menuntut anak-anak bisa mahir, tetapi nilai-nilai pendidikan karakternya yang jauh lebih penting," kata Pardiman.

Keterampilan untuk bekerja dalam tim, melakukan harmoni, fokus, dan disiplin diasah saat mereka memukul gong, saron, atau bonang. Gamelan mengharuskan pemainnya memperlihatkan sikap tubuh yang baik, duduk bersila, dan takzim. Ketika masuk ke lokasi gamelan ditempatkan, pemain pun tidak diperkenankan melangkahi.


Eksis di kampus

Kabar baiknya, gamelan juga telah menjadi pilihan atraktif di bangku kuliah. Di Institut Seni Indonesia, peminat karawitan terus bertambah. "Dulu pada 1980-1990, yang jadi mahasiswa karawitan hanya 2-3 orang, baru beberapa tahun setelah itu mahasiswanya mencapai 15 orang dan saat ini kami menerima 43 mahasiswa," kata Raharja, dosen Jurusan Seni Karawitan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

Di kampusnya, lanjut Raharja, seni karawitan yang dipelajari utamanya ialah karawitan Yogyakarta dan Surakarta. Namun, selain itu, mahasiswa mempelajari karawitan Sunda, Bali, dan Jawa Timur.

"Di Jawa, gamelan sebaiknya masuk kurikulum. Belajar gamelan sedari dini sangat penting karena dapat menimbulkan afeksi budaya kepada mereka," kata Raharja.


Gamelan Bali

Bukan cuma di kampus, gairah menggeluti gamelan juga diperlihatkan para belia di komunitas Sawitra Kumara Saraswati Yogyakarta, salah satu penampil di Yogyakarta Gamelan Festival (YGF) ke-21. Anak-anak asal Bali yang tinggal di Yogyakarta memainkan gamelan Bali dengan peralatan lengkap.

"Kami ber-38, yaitu 31 pemain dan 7 pendamping. Kami menampilkan empat repertoar," kata I Ketut Ardana selaku pemimpin Sawitra Kumara Saraswati Yogyakarta. Anak-anak usia 5 tahun hingga kelas 3 SMP itu memamerkan kedinamisan musik gamelan Bali.

DJ gamelan

Perayaan terhadap gamelan juga dipertontonkan Ishari Sahida, akrab disapa Ari Wulu, yang menggabungkan gamelan dengan musik elektronik. Suara bonang, saron, dan gong berpadu dengan musik lantai dansa yang dimainkan Ari di balik laptopnya.

Penampilan Ari menjadi salah satu warna dalam tiga hari YGF, 22 hingga 24 Juli. Selain dari Nusantara, penampil dari tiga negara memamerkan hasil latihan, kerja keras mengangkut alat, meramu musik, improvisasi, juga kolaborasi dengan sesama pecinta gamelan. Mereka datang dari Australia, Filipina, dan Meksiko. Kehadiran mereka menjadi penanda bahwa gamelan telah melampaui sekat-sekat negara.

Pergelaran yang digagas sang maestro, Sapto Raharjo, itu telah melewati dua dasawarsa pertama sehingga penyelenggara hingga musisi yang terlibat, lanjut Ari, harus makin intens menyusun agenda perkembangan gamelan.

"Yang paling susah dari meneruskan estafet YGF ini ialah menjaga pakem-pakem yang ada, misalnya harus independen dan mandiri. Kami, kelompok penyelenggara yang tergabung dalam Gayam 16, juga merintis jejaring pecinta gamelan baru," kata Ari.

YGF tetap ingin mempertahankan gamelan di wilayah tradisi, kontemporer, anak muda, orang tua, dan anak-anak. Bahkan, pada tahun lalu, teman-teman dari penyandang disabilitas pun sempat tampil dalam YGF.

Upaya menampilkan permainan dalam berbagai ragam dan belajar di antara seniman pun terbuka lebar. "Kita bisa melihat instrumen yang dibawa dari daerah ataupun negara masing-masing dan kultur tradisi mereka sehingga disinggungkan dengan gamelan," tukas Ari.

Menginjak penyelenggaraan yang ke-21, YGF telah menjadi gardu pandang untuk melihat perkembangan musik gamelan saat ini serta menjaga dan membuatnya terus eksis dalam kekinian. (AT)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya