Jumlah Peserta JKN tidak Seimbang dengan Faskes

Siswantini Suryandari
29/7/2016 14:50
Jumlah Peserta JKN tidak Seimbang dengan Faskes
(Antara/Basri Marzuki)

PESERTA Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) terus bertambah. Namun jumlah itu tidak dibarengi dengan bertambahnya fasilitas kesehatan yang ada.

Hal itu menjadi kendala utama dalam pemerataan layanan kesehatan saat ini. Masih banyak masyarakat peserta BPJS tidak terlayani karena akses untuk fasilitas kesehatan (faskes) tidak ada.

Ascobat Gani, konsultan kesehatan masyarakat dari CHEPA Universitas Indonesia mengatakan di daerah-daerah penyebaran fasilitas layanan kesehatan tidak merata. Demikian juga dengan tenaga kesehatannya. "Itu yang memicu terjadinya defisit anggaran karena layanan kesehatan publik yang paling dasar masih sulit dijangkau. Orang miskin yang tinggal di daerah terpencil akan mengeluarkan biaya tinggi untuk transprortasi menuju puskesmas. Saya pernah dengar kabar ada pasien di Riau akan berobat di puskesmas harus keluar ongkos Rp500,000. Cost nya tinggi,"ujar Ascobat dalam jumpa pers kongres Ina HEA ketiga di Yogyakarta, Jumat (29/7).

Tidak seimbangnya fasilitas kesehatan dan jumlah peserta JKN ini lantaran tidak ada pembiayaan yang cukup besar untuk membangun fasilitas kesehatan.<

Ascobat menyebutkan tahun ini defisit BPJS mencapai sekitar Rp6,8 triliun hingga Rp7 triliun..Jumlah itu terus naik sejak BPJS digulirkan pada 2014. sementara peserta JKN saat ini sudah 65% dari total penduduk Indonesia. Sedangkan jumlah faskes masih berkisar 4 ribuan.

Minimnya anggaran ditanggapi Purwianto, staf ahli Menkeu bidang pengeluaran keuangan.

Menurutnya anggaran kesehatan pada APBN 2016 sudah mencapai 5% atau Rp110 triliun yang tersebar di Kementerian Kesehatan, BPJS Kesehatan BPOM, BKKBN, pemerintah daerah dan lembaga negara lain.

Namun faktanya dalam JKN, belanja pemerintah diwujudkan dalam bentuk bantuan iuran bagi penduduk berpendapatan rendah (bukan hanya miskin) pada 2016 mencapai 92,4 juta jiwa.Dengan bantuan iuran sebesar Rp23 ribu per orang per bulan. Dengan demikian jumlah total bantuan iuran oleh pemeritah pusat yang disalurkan kepada BPJS Kesehatan melalui anggaran Kemenkes sekitar Rp25,5 triliun atau kurang dari 25% belanja fungsi kesehatan pemerintah senilai Rp110 triliun. "Jadi sebetulnya tidak besar belanja kuratif pemerintah. Namun seharusnya belanja preventif yang besar," terang dia.

Apalagi saat ini penyakit tidak menular seperti jantung, gagal ginjal, diabetes mellitus dan kanker cukup tinggi diidap pasien BPJS. Apalagi penyakit-penyakit tersebut membutuhkan waktu lama untuk penyembuhan sehingga menambah bebam biaya.

Di sisi lain dalam belanja preventif nilainya tidak besar seperti sosialisasi gizi, posyandu, KB dan lainnya, nilainya malah di bawah 1%.

Guru Besar Kesehatan Masyarakat UI, Hasbullah Thabrany, menambahkan kecilnya anggaran preventif juga menimbulkan persoalan besar. " Memang harus ada perbaikan. Preventif dan kuratif harus jalan bersama. Salah satu cara preventif adalah menaikkan pajak cukai rokok dan harga rokok.Sebab 70% pasien BPJS memiliki riwayat akibat rokok," tambahnya.

Dengan naiknya pita cukai rokok dan harga sebungkus rokok.minimal Rp50 ribu akan menghentikan orang miskin membeli rokok.

Sementara itu delegasi dari Malaysia yang diwakili Asnul Akmal Shafie dari Universitas Sains Penang menjelaskan di negaranya telah dilakukan jaminan kesehatan sejak negara tersebut merdeka pada 1957. Sebanyak 80% pasien tidak mampu dirawat di rumah sakit pemerintah dan sisanya 20% rawat jalan. Sedangkan orang-orang kaya berobat ke rumah sakit swasta. " Padahal kondisi perekonomian dan pembangunan rumah sakit belum bagus tapi bisa berjalan dengan banyak perbaikan."(X-11)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Victor Nababan
Berita Lainnya