Pemerintah Evaluasi Kebijakan Kefarmasian

Puput Mutiara
27/7/2016 07:00
Pemerintah Evaluasi Kebijakan Kefarmasian
(MI/RAMDANI)

SEJUMLAH peraturan tentang kefarmasian perlu direvisi, terutama Peraturan Menteri Ke­sehatan (Permenkes) No 30, 35, dan 58 yang menyangkut pembinaan dan pengawasan obat. Penguatan peran Badan Pengawas Obat dan Ma­kanan (Badan POM) harus dilandasi payung hukum yang jelas.

“Revisi peraturan itu juga ha­rus diperdetail untuk kemu­dian bisa dijalankan ke depannya. Jadi, Badan POM kalau be­kerja sudah lebih tahu tugas dan fungsinya,” kata Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebu­da­­yaan (Menko PMK) Puan Ma­harani saat membacakan hasil rapat koordinasi (rakor) antarkementerian/lembaga (K/L) terkait dengan penangan­an dampak vaksin palsu di Ja­karta, kemarin.

Selain itu, regulasi mengenai persoalan limbah farmasi tengah dibahas Kementerian Kesehatan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Ke­hutanan (LHK). Pasalnya peraturan menteri lingkungan hidup yang dikeluarkan pada 2009 memiliki kelemahan.

Lebih lanjut, Puan mengata­kan apa pun yang berkaitan dengan kebijakan kefarmasian harus dibicarakan bersama an­tarkementerian/lembaga. Setelahnya pun harus dilakukan pengkajian lebih lanjut agar dalam implementasinya bisa berjalan sesuai yang diha­rapkan.

Mengenai persoalan limbah rumah sakit, Menteri Kesehat­an Nila F Moeloek mengatakan peraturan menteri LHK tidak membenarkan adanya insine­rator di setiap rumah sakit, te­­tapi secara regional. “Kami sudah berkoordinasi dengan Kementerian LHK bagaimana pembuangan limbah atau insinerator itu.”

Ia pun menegaskan bahwa peraturan apa pun yang dianggap masih memiliki kelemahan perlu dibicarakan kembali. Semua pihak harus terbuka un­tuk mau bersama-sama memperbaiki sehingga yang lemah bisa diperkuat dan yang sudah baik dijalankan.

Saat dihubungi secara terpisah, Direktur Ya­yasan Pemberdayaan Konsu­men Kesehatan Indonesia Ma­rius Widjajarta mengatakan setuju dengan pen­dapat Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf yang menghen­daki Permenkes No 30, 35, dan 58 dicabut, bukan sekadar direvisi (Media Indonesia, Selasa, 26/7). “Kemenkes itu kan sebagai ­regulator bukan pelaksana. Tugas regulator mengurus peraturan perundang-undangan saja. Kalau se­karang kan double agent,” tambahnya.


Vaksin palsu

Terkait dengan vaksin palsu, Menkes mengaku pihaknya masih terus menangani para korban. Hasil pendataan yang dilakukan di rumah sakit (RS) yang ada di Jakarta Timur, lanjutnya, jum­lah anak terpa­par vaksin pal­su sebanyak 519.

Korban vak­sin palsu di Rumah Sakit (RS) Elisabeth, Bekasi, juga sudah divaksinasi ulang di RS Rawa Lumbu, Bekasi, kemarin. Vaksinasi yang dilakukan Tim Satgas Penanggulangan Vaksin Palsu itu dilakukan hingga Jumat (29/7).
Kepala Humas RS Elisabeth, Antonius Anton, mengatakan korban vaksin palsu di RS Eli­sabeth ialah 125 anak. Mereka divaksinasi pada Desember 2015 hingga Juli 2016.

Di sisi lain, Badan POM kini tengah meneliti kandungan vaksin yang diduga palsu yang ditemukan di kawasan Kembangan, Jakarta Barat, pada Ka­­mis (21/7) dan Sabtu (23/7). Vak­sin tersebut ditemukan war­ga setempat dalam empat kotak di pinggir jalan tol, yang ke­mu­dian diserahkan ke Polres Jakarta Barat.

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengatakan jenis vak­sin yang ditemukan ialah 520 botol vaksin campak, 832 saset vaksin hepatitis B, 1.200 botol pelarut vaksin campak ke­ring, dan 10 botol vaksin TT.

Sementara itu, soal ketersediaan infus, sejumlah RSUD di Kabupaten dan Kota Tangerang mengatakan aman. “Alhamdulillah sampai saat ini persedia­an aman,” kata juru bicara RSUD Kabupaten Tangerang, Nizar. (Mal/SM/ BE/X-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya