Jati Diri dalam Setiap Lagu

Dzulfikri Putra Malawi
24/7/2016 09:45
Jati Diri dalam Setiap Lagu
(MI/Rio Thaba Pratama)

KARAKTER suara perempuan yang lembut tidak akan ditemukan di band ini. Kesan energik ditonjolkan vokalis sekaligus pemain piano dan synthesizer band Scaller, Stella Gareth.

Ia menafikan referensi vokalnya berdasarkan gender. Baginya, musik yang menggairahkan selalu menarik perhatian untuk dipelajari dan dijadikan referensi. “Saya tidak suka mengulik vokalis perempuan. Saya suka Janis Joplin (penyanyi blues asal Texas, Amerika Serikat), saya lihat karakter vokalis, bukan gender,” ungkapnya dalam perbincangan dengan Media Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Stella dan Reney Karamoy (gitar, vokal) sejak SMA bermusik bersama hingga menjadi Scaller di pertengahan 2012. Mini album bertajuk 1991 berisi lima lagu terlahir setahun kemudian. Bukan sembarang pilih, angka itu merupakan tahun kelahiran mereka berdua.

Pascamini album, band ini bertambah besar dengan bergabungnya additional drum Dhani Siahaan. Dhani mudah beradaptasi karena pertemanan dan referensi musik yang sama. Dua tahun kemudian saat produksi lagu The Youth, mereka bekerja sama dengan Gerard Rumintjap untuk mixing yang akhirnya bergabung dalam band.

“Saya tawarkan ke Gerald kayaknya enak kalau kita bawa mixing real time ke atas panggung. Ternyata seiring waktu, semua tata suara di panggung dibantu Gerald. Motivasi kami bermain live, energi yang kami luapkan adalah kerja bersama. Setiap saya lihat Gerard di mixer, saya yakin semua suara terdengar baik di luar panggung,” ungkap Reney.

April lalu mereka merilis single berjudul A Song secara digital. Lagu itu memantapkan langkah mereka meluncurkan album perdana pada Agustus atau September mendatang.

“Persiapannya sudah dari 8-10 bulan sejak tahun lalu rekaman, baru 70% karena kami mencari sound yang spesifik dan menikmati prosesnya. Sejauh ini menyenangkan, hasilnya sesuai ekspektasi,” jelas Reney.

Reney ingin menyajikan sesuatu yang segar dari minialbum sebelumnya, seperti sejumlah layer sound. “Fx processing dieksplorasi lebih dalam lagi. Tapi agresivitasnya masih tetap ada,” lanjutnya.

Selain eksplorasi suara, Stella ingin menonjolkan jati diri dalam setiap lagu. “Setiap lagu harus punya ikatan emosi saat kami bawakan live, tidak peduli sudah dirilis atau belum lagunya. Bagi kami, manggung menjadi medium menemukan jati diri lagunya,” tutur Stella.

Cara itu pun, kata Stella, membuat mereka berbeda. Tujuannya membawa energi tersebut ke dalam proses rekam­an yang tetap dengan metode multilayer. “Cara seperti itu membuat saya lebih paham energi seperti apa yang dikonversi dalam format tata suara saat rekaman nanti. Karena kelihatan visinya seperti apa ketika dibawakan di atas panggung,” timpal Gerard.

Meski kerap mengusung alternatif era 90-an, Scaller menanggap genre mereka ialah alternatif yang bermakna luas. “Alternatif bagi kami adalah apa yang kami buat dengan teman-teman, itulah yang terjadi, kami tidak memberikan aturan tertentu untuk karya, selalu ada pilihan lain. Alternatif juga tidak merujuk pada satu era bagi saya. Luas. Makanya kami merangkum musik Scaller adalah alternatif rock,” kata mereka berdua.

Album
Masalah sosial dan pengalaman pribadi menjadi sumber inspirasi dari lirik dan musik mereka. Termasuk permasalahan di luar musik yang bisa dikembangkan menjadi lagu. Rencananya, ada delapan lagu dalam album yang belum memiliki judul itu dengan total durasi 45-50 menit.

“Masih bicara sosial. Lirik dan musik juga relatif pembagiannya. Semua saling berkontribusi untuk proses penciptaan lagu. Semuanya berbahasa Inggris karena personal preference, lebih nyaman untuk saat ini. Ke depannya tidak tertutup kemungkinan untuk bahasa lain,” terang Stella.

Sementara itu bagi Reney album kedua merupakan cara mereka berevolusi melakukan hal yang baru dengan tetap membatasi diri dan melakukan produksi secara bijak agar tidak terbawa euforia sesaat.

“Kami ingin bikin album yang bisa didengarkan berkali-kali. Kami mau maintain itu agar euforia itu terkontrol. Termasuk aktivasi di Youtube dan panggung. Apa yang kami tuangkan dalam karya semoga bisa membawa kami ke mana pun,” ungkapnya.

Stella lebih menganggapnya sebagai melek euforia. “Misalnya satu lagu sudah terlalu agresif, kami mengantisipasinya dibuat lebih cerdik, lebih bercerita lagi, ada dinamikanya. Saya ingin album baru ini terdengar indah, bukan sekadar euforia,” harapnya.

Ingin tahu lebih banyak lagi? Simak wawancara lengkapnya hanya di Kotak Musik. Unduh aplikasi Media Indonesia sekarang juga di Google Play Store dan App Store. (M-4)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya