Agar Setangkas Guru

PO/M-3
24/7/2016 09:30
Agar Setangkas Guru
(MI/Palce Amalo)

PULUHAN anak berkerumun di halaman rumah warga di Desa Fulur, Kecamatan Lamaknen, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Jumat petang.

Anak-anak yang berusia 8-10 tahun itu duduk bersila membentuk lingkaran di terpal yang diletakkan di tanah. Di depan mereka diletakkan buku-buku cerita, pensil, penghapus, dan krayon.

“Kaki burung ada berapa?”, tanya Yovita Motu, perempuan warga setempat dari tengah lingkaran. Tanpa dikomando, mereka ramai-ramai menjawab, ‘ada dua’. “Nah, sekarang siapa yang bisa menuliskan angka dua,” tanya perempuan yang mengenakan sarung motif Timor itu untuk kedua kalinya.

Dari sisi kanan, beberapa anak mengangkat tangan. Namun, Yovita memilih Katrin Melania Asa, siswi kelas 3 SD Katolik Fulur. Begitu ia selesai menuliskan angka dua di papan secara benar, anak-anak lainnya berkata, ‘salut…salut…salut…sambil…’ bernyanyi.

Itulah suasana di Pos Membaca Desa Fulur yang dibangun Save The Children sejak 2013. Anak-anak ini berasal dari dua pos di desa tersebut, yakni Aelae dan Holgotot.

Dua kali dalam sepekan, setelah pulang sekolah, anak-anak tersebut berkumpul di dua pos ini untuk mendapat bimbingan dari fasilitator, mulai menyusun kata, menulis kalimat, membaca, menyanyi, menggambar, hingga mendengar cerita.

Yovita ialah satu dari dua fasilitator yang bertugas di Fulur. Masih ada lagi dua fasilitator yang bertugas membimbing orangtua siswa, menggunakan materi sama persis seperti digunakan untuk anak-anak. Bedanya, bimbingan untuk anak dilakukan sepulang sekolah, sedangkan bimbingan bagi orangtua dilakukan pada malam hari setelah mereka kembali dari bekerja di kebun dan sawah.

Kegiatan pendampingan ini merupakan bagian dari program ‘Sehat’ dan ‘Membaca’ Save The Children yang sudah berjalan selama tiga tahun di Kabupaten Belu. Sampai penutupan, program tahun ini telah menjangkau 9.400 siswa dan 400 guru di 80 sekolah dasar (SD).

“Orangtua diberi bimbingan agar mereka mendapatkan pengetahuan yang memadai guna membantu proses belajar-mengajar,” ujar Manajer Komunikasi dan Media Yayasan Sayangi Tunas Cilik, Ruly Prayoga.

Hasilnya lumayan, seperti disampaikan Yustus Asa, orangtua Katrin Melania Asa. “Sekarang saya bisa mengecek kembali apa yang guru-guru ajarkan di sekolah. Jika ada huruf yang salah, saya kasih tahu anak untuk betulkan,” kata Yustus.

Saban hari setelah pulang dari kebun, Yustus mengaku memeriksa mata pelajaran anaknya. Dengan cara tersebut, ia tahu perkembangan anaknya di sekolah. Seperti anak-anak lainnya yang mengikuti bimbingan di dua pos belajar tersebut, proses belajar-mengajar di sekolah menjadi menyenangkan karena anak-anak yang mengalami kesulitan di sekolah sudah bisa mengatasinya sendiri di rumah.

Perkembangan kurikulum maupun pergaulan sosial memang bisa membuat orangtua gamang dengan pendidikan anaknya. Namun, pendidikan tetap tidak bisa diserahkan begitu saja kepada orang lain karena orangtualah sesungguhnya guru sejati anak. (PO/M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya