Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
BANDUNG tak melulu deretan factory outlet, distro, dan makanan enak.
Di sini, wisata mengelilingi kampung bisa jadi alternatif yang menyenangkan, seperti Kampung Kreatif Dago Pojok Bandung.
Berbeda dengan kampung wisata yang identik dengan budaya setempat, di kampung itu pengunjung akan menemukan beragam mural yang bercerita di tembok-tembok rumah warga.
Di balik mural itu ada sosok Rahmat Jabaril, seniman yang resah melihat realitas sosial saat ini.
Aktivis lingkungan itu besar di lingkungan pesantren dan suka hal yang berkaitan dengan seni lukis, mendongeng, menulis, serta kegiatan yang ekspresif lainnya.
Bahkan bercerita menjadi salah satu sumber pendapatannya ketika sekolah dasar.
"Tiap kumpul, saya bercerita dan mereka ngasih uang," kenangnya.
Namun, kegeramannya muncul sekitar 2003, saat isu pendidikan mahal.
Tidak ingin anak-anak kurang mampu tidak melanjutkan sekolah, ia dan istri, Ika Ismurdiyahwati, bertekad mendirikan sekolah gratis bagi anak jalanan.
Selain itu, Rahmat membuka sekolah seni seperti musik, peran, dan melukis.
Tak tanggung-tanggung, dia menggaet seniman senior Harry Roesli (almarhum) sebagai pengampunya.
"Sejumlah mahasiswa relawan dari berbagai universitas saya libatkan sebagai guru," ucap Rahmat.
Kecamatan Coblong di kawasan Dago Pojok dipilihnya setelah melakukan survei.
Kawasan dengan total sembilan rukun tetangga (RT) itu mayoritas penduduknya berpenghasilan rendah.
"Rata-rata warga Dago Pojok ialah pekerja kasar yang tak tentu seperti pembantu, tukang ojek, pegawai toko, dan pengangguran. Separuhnya lagi mahasiswa, pedagang kios, dan dosen," ujar pria gondrong kelahiran 17 Agustus 1968 itu.
Di rumah kontrakan berukuran 12 x 16 meter yang disewanya Rp29 juta per tahun itu ia mendirikan sekolah gratis bernama Taboo untuk pendidikan anak usia dini (PAUD), sekolah dasar (SD), hingga sekolah menengah pertama (SMP).
Warga pun antusias anak mereka mendapat pendidikan gratis.
Kampung kreatif
Rahmat melihat kawasan itu berpotensi menjadi pusat perekonomian, kebudayaan, dan kesenian.
Ia pun kembali putar otak untuk mewujudkan kampung kratif impiannya.
Bedanya, kali ini Ika sudah kembali ke Surabaya untuk kuliah dan mengajar di salah satu universitas di sana.
Saat berdialog dengan warga tentang idenya, ia mendapatkan sambutan negatif.
Tidak patah arang, Rahmat mencoba terus berkomunikasi dengan santun kepada warga.
Dia mulai mengajak anak-anak membuat mural di tembok-tembok agar kawasan Dago Pojok terlihat artistik dan cerah.
Satu per satu warga meminta rumahnya digambar mural.
Pendekatannya berhasil dan semakin dekat dengan impiannya.
Warga pun mulai percaya akan gagasannya. Sayangnya, ia terbentur pada modal.
Tak pelak ia menggadaikan mobilnya untuk mendapatkan dana Rp20 juta.
Ia pun mengajukan proposal ke berbagai instansi, tetapi tidak ditanggapi.
Rahmat lantas menghubungi temannya, Fiki Satari, pengusaha clothing terkenal di Bandung.
Fiki menyambut positif ide Rahmat sehingga proposal yang diajukan mendapatkan persetujuan.
Agenda mewujudkan kampung kreatif pun mulai dijalankan. Ia mengajak warga menggambar mural di sepanjang tembok di kawasan Dago Pojok.
Rahmat juga melakukan pelatihan dengan mendatangkan para ahli kreatif, mahasiswa, dan seniman.
Secara perlahan impiannya terwujud. Rumah Taboo sudah memiliki 700 siswa yang lulus.
Kawasan Dago Pojok sudah menjadi kampung kreatif. Setiap warga memiliki lahan penghasilan sendiri, mulai berdagang telur asin, jualan kue, membuka warung, sampai membuat kolam untuk memelihara ikan.
Penghasilan mereka mencapai Rp2 juta per bulan. Ibu rumah tangga pun memiliki pengahsilan dari membuat kerajinan tangan, rajutan, dan boneka.
Menurut Rahmat, hasil dari program kampung kreatif yang ia canangkan sudah cukup memuaskan.
"Dulu sebelum ada kampung kreatif di Dago Pojok, antar-RT di wilayah itu sering tawuran karena masalah yang sepele, tingkat kriminalitas juga cukup tinggi. Saat ini tidak ada konflik dan kriminalitas menurun drastis. Hasil itu membuat saya puas," ungkap Rahmat.
Anak-anak yang dulunya menghabiskan waktu dengan Play Station (PS), kini sudah gemar memaminkan permainan anak-anak tradisional khas Sunda seperti egrang, jajangkungan, dan gatrik.
Kesenian tradisional pun sudah hidup kembali dengan munculnya beberapa grup reog, jaipong, gondang, dan celempung. (Sumaryanto Bronto/M-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved