Daerah Abaikan Lahan Konservasi

Richaldo Y Hariandja
20/7/2016 14:59
Daerah Abaikan Lahan Konservasi
()

KONSERVASI satwa liar masih terken­dala oleh pembagian kaveling kawasan hutan di daerah. Bahkan, pengavelingan kawasan hutan oleh pemerintah daerah sering mengabaikan tujuan konservasi yang membutuhkan area hutan yang luas untuk melindungi ekosistem satwa liar.

“Sampai saat ini penilaian kawasan hutan untuk konservasi masih berpatokan pada seberapa besar pohon yang ada di sana. Semakin besar pohon, semakin bagus pula untuk kawasan konservasi,” ungkap CEO Yayasan Borneo Oran Utan Survival (BOS) Jamartin Sihite saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

Dengan kata lain, kata Jamartin, peruntukan kawasan hutan sebagai pusat konservasi atau perlindungan satwa liar sampai saat ini masih dinomorduakan. Namun, Yayasan BOS tetap berkomitmen menyelamatkan satwa liar.

Yayasan BOS misalnya menggelontorkan dana hingga Rp12 miliar untuk mendapatkan izin hak pengusahaan hutan (HPH) restorasi di Kalimantan Timur selama 60 tahun. Selanjutnya, izin HPH digunakan untuk lahan pelepasliaran sejumlah orang utan yang berhasil direhabilitasi di pusat penangkaran.

Saat ini, menurut dia, peng­ajuan izin yang hendak dimin­ta Yayasan BOS untuk melepasliarkan 200 orang utan sudah sekitar 50 ribu hektare.
Berdasarkan perhitungan, kawasan dengan luasan 50 ribu hektare itu akan sanggup menampung hingga tiga generasi orang utan dari 200 orang utan yang akan dilepasliarkan tersebut.

“Kami berharap pemerintah mau menaikkan status kawasan tersebut nantinya menjadi suaka margasatwa, tetapi tentunya akan memakan waktu lama. Untuk itu, sambil menunggu status berubah, kami meminta izin HPH restorasi,” imbuh Jamartin.

Khusus di Pulau Kalimantan, lanjutnya, pemerintah sebenarnya memiliki hutan konservasi di kawasan Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Akan tetapi, tidak semua hutan konservasi kriterianya sesuai dengan ekosistem pelepasliaran orang utan.

Karena itu, dirinya meminta agar tidak ada lagi perubahan peruntukan hutan. “Kami sendiri masih ada sekitar 700 orang utan di penangkaran lagi, kalau terus bertambah, kami khawatir tidak akan ada lagi lahan untuk pelepasliaran,” terang dia.

Perlu kolaborasi
Secara terpisah, Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Tachrir Fathoni mengaku heran dengan dana konservasi yang digelontorkan Yayasan BOS hingga berjumlah miliaran rupiah tersebut.

Untuk itu, pihaknya menawarkan agar setiap non-government organization (NGO) serupa bekerja sama dengan pemerintah pusat.

“Perlu kolaborasi banyak pihak dalam hal konservasi, bisa kami sediakan kawasan hutan konservasi yang saat ini ada jutaan hektare,” terang Tachrir.

Terkait dengan perubahan kawasan hutan menjadi suaka margasatwa, ia menjelaskan bisa dilakukan dengan cepat hingga dua bulan, asalkan tim bekerja cepat dalam melakukan survei kawasan dan berkomunikasi dengan warga setempat.

“Pemerintah pusat juga sudah mengimbau pemerintah daerah agar menyediakan luasan hutan untuk konservasi. Jadi, saya kira daerah tidak abai atas konservasi di kawasan hutannya,” tukasnya. (S-4)

richaldo@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya