Memilih untuk Bertahan

Zuq/M-4
17/7/2016 06:30
Memilih untuk Bertahan
(MI/RAMDANI)

DI tengah berbagai masalah yang melekat, ia masih menarik perhatian banyak orang untuk datang mencari peruntungan. Itulah Jakarta, kota beribu mimpi dan harapan. Jakarta sedari dulu memang menjadi tempat pertemuan beragam etnik manusia dari berbagai belahan dunia.

Percampuran beragam etnik mulai zaman kerajaan Sunda, Pajajaran, dan Jawa membentuk Betawi. Pencampuran etnik tersebut dilanjutkan dengan pengaruh-pengaruh yang masuk setelah abad ke-16. Kala itu, VOC turut andil dalam proses terbentuknya identitas orang Betawi.

Hal itu ditegaskan budayawan Betawi, Ridwan Saidi. Sejak dahulu, kata Ridwan, masyarakat Betawi telah berdiam di Jakarta. Mereka terbiasa bergaul dengan pendatang dari dalam negeri ataupun mancanegara seperti Karibia, Afrika Utara, dan bahkan Arab.

"Kita kan di sini sudah dari sebelum Masehi. Kita sudah menghadapi rupa-rupa bangsa. Jadi sudah biasa," tegas Ridwan.

Kedatangan banyak pendatang dari berbagai suku tak bisa dielakkan. Tak mengherankan jika Jakarta menjadi sesak. Ruang yang dulu terasa lega, secara perlahan tapi pasti, berubah kian menyempit. Penghuni semakin banyak, sedangkan luas tanah tak bertambah.

Yang terjadi berikutnya ialah berebut tempat tinggal antara pendatang baru dan penghuni lama. Lalu, bagaimana dengan mereka yang terlebih dahulu mendiami tanah Ibu Kota seperti warga Betawi?

Sebagian masih bertahan di tempat asal. Seperti HM Jailani Arifin yang tinggal di Senopati, Jaksel. Kawasan yang dulunya dikenal sebagai Kampung Pecandran itu berubah menjadi kawasan bisnis elite.

Perpindahan masyarakat Betawi banyak penyebabnya. Selain karena penggusuran dan pembangunan, pernikahan juga menjadi pintu perpindahan mereka ke kawasan lain. Lantas bagaimana dengan masyarakat Betawi lainnya? Apakah mereka masih bertahan?



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya