Data Hotspot Sulit Diandalkan

Putri Rosmalia
12/7/2016 13:56
Data Hotspot Sulit Diandalkan
(ANTARA/Nova Wahyudi)

KETERGANTUNGAN Indonesia terhadap penggunaan data hotspot sebagai acuan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akan dikurangi. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) akan lebih mengandalkan sistem patroli terpadu dan pengecekan secara langsung dengan melibatan seluruh stakeholders, baik pemerintah maupun masyarakat.

Penegasan tersebut dikemukakan Menteri LHK Siti Nurbaya seusai acara halalbihalal dengan Presiden Jokowi di Istana Negara Jakarta, kemarin, terkait dengan peningkatan hotspot di beberapa wilayah baru-baru ini. "Memang data hotspot dari satelit, tapi itu sentralnya ada di Singapura. Saya tidak mau curiga, tetapi kita harus tetap waspada."

Menteri Siti mengungkapkan ia sempat kaget pada 3 Juli lalu yang disebutkan ada 300 hotspot. Namun, ketika dicek langsung di lapangan, jumlahnya tidak sebanyak data dari citra satelit tersebut.

Menurut Siti, kondisi hutan di Indonesia berbeda dengan yang ada di negara lain sehingga tidak bisa menggunakan sistem hotspot secara serampangan. "Negara lain itu homogen (hutannya) sehingga bisa pakai sistem kontrol komputer dan sejenisnya. Kalau sistem itu dipakai di Indonesia, setelah dicek di lapangan, ada hotspot yang terpantau lewat citra satelit ternyata tobong gamping pembakaran batu bata, tempat pembuatan arang oleh penduduk," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri LHK menjelaskan potensi kebakaran hutan setiap tahunnya di Indonesia dapat terbagi menjadi tiga tahap. Fase pertama terjadi awal Februari hingga Maret. Krisis tahap kedua terjadi sekitar akhir Juni hingga akhir Juli. Tahap ketiga, sekitar September hingga Oktober. Krisis kebakaran hutan pada fase itu biasanya dipicu musim kemarau yang berlebihan atau biasa disebut fenomena El Nino.

Secara terpisah, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho mengungkapkan, memasuki semester kedua 2016, ratusan hotspot kembali terdeteksi di beberapa wilayah Sumatra dan Kalimantan.
Sumatra menjadi wilayah dengan hotspot terbanyak yang sejak awal Juli, mencapai 245 titik. Sementara itu, 43 hotspot terpantau di beberapa wilayah Kalimantan.

Sutopo menjelaskan, diprediksi karhutla tidak separah yang terjadi pada 2015, tapi kondisi kering, sulitnya air, dan lokasi yang sukar diakses menimbulkan kerumitan dalam memadamkan api. Selain itu, cuaca pada Juli, Agustus, dan September diprediksi lebih kering sehingga berpotensi terjadi kebakaran dan meluasnya api.

Berkurang
Pantauan BMKG Pangkalpinang juga menyebutkan berdasarkan data satelit Modis Tera di Pulau Bangka sebelah utara, terdeteksi beberapa titik api. Menurut Staf Analisis dan Prakiraan BMKG Kota Pangkal­pinang Rizki Adzani, jumlah hotspot di awal musim kemarau tahun ini turun.
"Kalau tahun lalu ditemukan beberapa titik api di satu lokasi, tahun ini satu lokasi satu titik."

Upaya mencegah karhutla melalui Pleton Patroli Desa tengah dilakukan di Kabupaten Ketapang, Kalbar. "Penanggulangan dini itu me-nindaklanjuti informasi dari BMKG berdasarkan pantauan satelit NOAA dan Modis," kata Ketua Satgas Karhutla Polda Kalbar Kombes Suhadi SW, kemarin.

Pleton Patroli Desa merupakan bala bantuan yang dibentuk untuk menanggulangi karhutla di setiap desa. Pleton berkekuatan 30 orang itu terdiri personel Manggala Agni, Bhabinkamtibmas, dan Babinsa, dengan kepala desa sebagai komandan pleton. (AR/RF/H-1)

putri@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya