Kearifan Peribahasa Nusantara

Abdillah M Marzuqi
10/7/2016 00:15
Kearifan Peribahasa Nusantara
()

MASIH ingatkah Anda dengan peribahasa yang pertama kali didengar di bangku sekolah? Jika masih ingat, sebutkanlah beberapa.
Peribahasa yang paling banyak diingat mungkin ‘tong kosong nyaring bunyinya’ dan ‘berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian’. Hanya beberapa peribahasa yang masih bercokol kuat dalam ingatan. Lalu bagaimana dengan peribahasa lain yang berasal dari daerah sendiri atau daerah tetangga?

Indonesia punya tidak kurang dari 1.340 suku bangsa dan lebih dari 546 ragam bahasa daerah. Bukan mustahil jika di sana tersimpan ratus­an ribu peribahasa yang menjadi pedoman hidup masyarakat Nusantara di masa lalu.

Kata-kata itu berbaris bukan tanpa sebab. Kata-kata berhimpun punya satu maksud. Bersama, mereka membentuk suatu arti. Bersama, mereka meneguhkan identitas kesejatian. Wujud kearifan membentuk dan mewujud dalam satu untai­an kata. Itulah peribahasa.

Sebagai salah satu warisan kekayaan budaya Nusantara, keberadaan peribahasa daerah sudah sangat memprihatinkan. Peribahasa-peribahasa tersebut makin diabaikan, dilupakan, ditiadakan, dan nyaris tak digunakan lagi. Jangankan oleh masyarakat lain, bahkan masyarakat lokal pun jarang meliriknya. Ungkapannya saja jarang diingat, apalagi arti makna serta muatan pesan yang terkandung di dalamnya.

Salah satu kendala ialah makin tenggelamnya kata-kata mutiara Nusantara. Hingga pada suatu saat, bukan mustahil jika peribahasa akan tercera­but dari tanah asalnya sehingga muncul kecenderungan orang Jawa tidak memahami peribahasa Jawa, orang Sunda tidak memahami peribahasa Sunda, orang Bugis tidak memahami peribahasa Bugis, dan selanjutnya.

Itulah yang menjadi latar buku Peribahasa Nusantara, Mata Air Kearif­an Bangsa karya Iman Budhi Santosa. Buku ini sengaja disusun dalam rangka mendokumentasi, merangkum, dan menyajikan sebagian kecil nilai kearif­an lokal dari berbagai suku bangsa.

Buku setebal 635 halaman ini memuat 30 bagian. Tiap-tiap bagian mempunyai pokok bahasan sendiri, misalnya, adat tradisi, etika dan tata krama, tutur kata dan bahasa, tugas dan tanggung jawab kemanusiaan, musyawarah mufakat, serta hubungan orangtua dengan anak.
Buku ini memuat ragam peribahasa dari 47 asal daerah, misalnya Bali, Banjar, Muara Enim, Papua, serta Riau.

Materi peribahasa atau kata-kata mutiara dalam buku ini dikumpulkan dari berbagai literatur, baik yang sudah diterbitkan maupun yang masih berupa manuskrip. Di samping itu, penulis juga menggali dari narasumber, seperti seniman dan budayawan putra daerah yang bermukim dan intens berproses di daerah. Juga lembaga instansi terkait yang memiliki data-data mengenai peribahasa yang masih hidup di masyarakat tertentu.

Peribahasa ialah kelompok kata atau kalimat yang susunannya tetap untuk mengungkapkan pernyataan tertentu. Isinya perbandingan, perumpamaan, nasihat, prinsip hidup, aturan tingkah laku, baik yang dipujikan atau dilarang dalam adat tradisi setempat. Konstruksi kalimat peribahasa pun umumnya dibuat singkat, padat, puitis, agar memiliki daya tarik sehingga mudah dihafal dan diingat masyarakat.

Pedoman hidup
Dalam sejarahnya, peribahasa berisi nasihat yang lahir dan digali dari simpul-simpul pandangan hidup. Simpul tersebut bersumber pada agama, kepercayaan, mitos, religi, falsafah, serta ajaran para leluhur di masa lalu. Kalimat tersebut lalu difungsikan menjadi pedoman hidup.

Walaupun modernitas di Indonesia telah merambah ke berbagai sektor kehidupan dan berbagai nilai baru sudah bertebaran, banyak nilai kearifan lokal sebagaimana termaktub dalam peribahasa daerah yang masih mengejawantah dalam sikap perilaku bangsa ini. Seperti nilai kegotongroyongan, kemanusiaan, religiusitas, moral, akhlak, dan budi pekerti.

Buku ini membingkai wujud aforisme yang berurat akar dalam kehidupan masyarakat suku bangsa yang tersebar di pelosok Tanah Air. Dengan dicantumkannya terjemahan bebas serta kupasan makna singkat dalam bahasa Indonesia, diharapkan pesan muatannya gampang dipahami.
Buku ini juga merupakan hasil usaha penulis selama puluhan tahun. Tak kurang dari 29 tahun, penulis terus mencari dan mencatat peribahasa. Sejak 1986, penulis rajin memulung, memburu, mencari, dan mencatat peribahasa-peribahasa se-Nusantara.

Membaca buku ini ibarat berjumpa kembali dengan para leluhur. Pembaca akan diajak melakukan silaturahim dengan nenek-moyang bangsa yang tersebar mulai Nangroe Aceh Darussalam hingga Papua, serta memperoleh ribuan fatwa dari mereka. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya