Kuliner Autentik Pelepas Rindu

Yose Hendra
10/7/2016 10:16
Kuliner Autentik Pelepas Rindu
(MI/Yose Hendra)

SEHARI pasca-Lebaran, Kamis (7/7), Los Lambuang di Kota Bukittinggi penuh sesak. Di antara pengunjung, tak jarang terdengar percakapan orangtua dengan anak memakai bahasa Indonesia dan sering kali dialek Betawi (Jakarta).

Ketika perantau berduyun-duyun untuk pulang kampung, pertanyaan mendasar ialah apa yang mereka cari? Berkumpul dengan keluarga ialah suatu hal yang pasti, tetapi melepaskan ‘selera’ yang tertambat merupakan hal lain.

Orang-orang di ranah menyebut orang Minang yang tinggal di kampung sering kali melepaskan kata-kata sarkastis kepada orang rantau yang menjamah labirin kuliner di Minangkabau. "Malapehan salero buruak," kata orang-orang di ranah.

Ungkapan demikian bisa dimaknai, orang rantau pulang kampung pasti memburu kuliner; sepanjang hari berpetualang lidah untuk mengecap rasa. Mereka memenuhi dahaga akan kuliner bercita rasa autentik dan orisinal yang tertahan mungkin bertahun-tahun lamanya. "Jika pulang kampung, selalu menyempatkan diri ke Los Lambuang. Ini bagian dari hunting makanan. Ini soal rasa," ujar salah seorang perantau, Ricky Adi Putra alias Ricky Komo.

Ricky Komo mungkin tidak asing di telinga anak-anak muda yang menggandrungi dunia selebritas Indonesia. Ia merupakan pembawa acara reality show di stasiun televisi swasta.

Bagi perantau seperti Komo, bertandang ke Los Lambuang merupakan hal wajib karena di sana kuliner khas Minangkabau tersedia dengan beragam pilihan. Apalagi, Los Lambuang terletak tidak jauh dari jantung Kota Bukittnggi, Jam Gadang.

Mencapai Los Lambuang butuh perjuangan yang mengesankan, seperti berjalan di gang sempit di antara lapak-lapak pedagang yang berjejal di kemiringan Pasar Lereng.

Jika dari arah Jam Gadang, perjalanan lebih mudah karena jalan menurun. Hal sebaliknya berlaku jika berjalan dari arah Pasar Aur Tajungkang atau Pasar Bawah. Jalan mendaki harus ditempuh untuk sampai di Los Lambuang.

Selama tiga hari di Bukittinggi, Komo mengaku menghabiskan hari-harinya dengan menyantap makanan di tempat-tempat yang menjadi pengobat rindunya semasa anak-anak dan remaja.

Omzet dua kali lipat
Bukittinggi ialah kota yang selalu dirindukan perantau. Selain Jam Gadang dan objek wisata lainnya, kuliner menjadi magnet bagi perantau untuk berkunjung ke kota kelahiran Bung Hatta tersebut.

Di Los Lambuang, para perantau bisa memanjakan lambung. Di situ, terdapat sekitar 10 warung nasi kapau.

Pemilik Nasi Kapau Ni Lis, Fitra Aini, 36, mengaku terjadi lonjakan omzet dua kali lipat saat Lebaran. Ia enggan menyebut angka pastinya. "Banyak perantau makan di sini," ujar anak ketujuh Uni Lis itu.

Nasi Kapau Ni Lis buka pukul 09.00 dan tutup pukul 16.00 WIB. Di Los Lambuang, Nasi Kapau Ni Lis menghuni dua lapak. Nasi kapau sebetulnya hampir sama dengan nasi padang biasa. Hal yang membedakan ialah itu dijual orang Kapau, sebuah nagari di pinggir Kota Bukittnggi, dengan lauk khas seperti tambusu (gulai usus), tunjang, dan dendeng. Rata-rata nasi kapau di Los Lambuang dijual Rp25 ribu per porsi.

Perantau Minang yang selalu menjadikan Bukittinggi kamus destinasi yang wajib dikunjungi bisa bergeser ke arah barat dari Jam Gadang atau Los Lambuang. Tujuannya ialah itiak gulai (lado) hijau di Ngarai Sianok. Kali ini, perantau bisa menikmati perjalanan yang begitu memesona.
Saat berkendara di pinggang Bukittinggi, lanskap sejauh mata memandang ialah keindahan Gunung Singgalang, dengan perbukitan yang sudah terbelah-belah membentuk ngarai di halaman depannya.

Selanjutnya, jalan di lurah-lurah yang curam dan sungai yang membelah lembah harus dilalui sebelum sampai di rumah makan itiak lado hijau.
Ada beberapa rumah makan itiak gulai hijau yang cukup terkenal di Ngarai Sianok. Salah satunya ialah Lansano Jaya, di atas ngarai dengan pemandangan lepas ke depan ngarai pula.

Reza Chaniago, 39, saudagar di Tanah Abang, memilih makan di Lansano Jaya atas rekomendasi teman-temannya. Hari itu, ia mengajak istrinya, Kiki Amelia, dan tiga kerabat. Bagi Reza dan Kiki, pulang kampung tiap Lebaran ialah hal yang wajib. Itu bukan sekadar untuk menjalin silaturahim, melainkan juga menjembati lidah yang penuh dahaga di perantauan.

Untuk pulang kampung selama 15 hari, Reza mengaku mengalokasikan dana sekitar Rp60 juta. Selain ongkos pulang dan pergi Jakarta-Padang, mengunjungi objek wisata, dan menjajal kuliner, uang tersebut biasanya terpakai untuk beli oleh-oleh.

Pemilik Lansano Jaya, Mendarti, mengatakan, pengalaman yang lalu, omzetnya Rp40 juta per hari selama seminggu. Itu jauh di atas hari biasa yang rata-rata Rp15 juta.

Daya pikat kuliner ranah bagi perantau bukan hanya di Bukittinggi. Mereka menjalar ke seluruh pelosok Ranah Minang. Salah satu ruas yang paling banyak disinggahi perantau ialah rumah makan atau kuliner yang berada di sepanjang jalan Padang-Bukittinggi-Payakumbuh. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya