Perjuangan Anak Tukang Cukur Jadi Taipan Betawi

Abdillah M Marzuqi
03/7/2016 10:27
Perjuangan Anak Tukang Cukur Jadi Taipan Betawi
(dok.MI)

NOVEL ini diawali dengan latar Kota Jinjiang, Provinsi Fukien (Fujian), bagian selatan Tiongkok. Obrolan kecil di meja makan, antara bapak, ibu, dan anak. Sederhana saja, si bapak menasihati anaknya agar merantau. Bapak merasa masa depan akan berat jika anak tetap berada di rumah.

Anak pun menurut. Ia melakukan seperti bapak bilang. Ia merantau sampai ke negeri seberang. Memang tidak semudah membalik telapak tangan. Tapi itulah semangat dan kerja keras. Kesuksesan akan ikut jika dua hal tersebut ditepati.

Setidaknya begitu pelajaran yang didapat dari membaca novel sejarah karya Oey Kwie Djien atau Robert Widjaja berjudul Letnan Oey Thai Lo; Anak Tukang Cukur Miskin dari Fukien Menjadi Taipan di Betawi. Novel itu melibatkan Remy Sylado sebagai editor.

Tokoh utama dalam novel ialah anak bungsu tukang cukur bernama Yi Bu. Bagian awal novel berisi awal kehidupan Yi Bu di Fukien. Kehidupan serbakekurangan menjadi latar yang cukup untuk membuat pembaca memasuki dalam bab cerita selanjutnya. Apalagi ditambah dengan bencana kekeringan dan paceklik yang merenggut keluarga dan orang yang disayanginya. Yi Bu sebatang kara.

Ketokohan Yi Bu semakin mendapati alur dramaturgi menarik saat ia memutuskan untuk berpetualang merantau guna mencari penghidupan yang lebih baik. Tujuannya adalah Batavia. Ia menumpang kapal sembari bekerja sebagai tukang bersih-bersih di kapal.

Tiba di Batavia, Yi Bu masih punya cerita panjang sebelum ia sukses menjadi taipan Betawi. Ia harus merantau berkeliling Jawa Tengah untuk berdagang kain dan tembakau. Ia harus banyak belajar bisnis sebelum mampu berdiri sendiri. Apalagi ia hanya seorang perantau yang tak punya modal dana, hanya semangat dan jiwa pantang menyerah yang ada pada dirinya.

Usahanya terbilang kecil karena masih berada di bawah tauke besar. Nasib Yi Bu berubah setelah bertemu dengan seorang anak yang tengah bermain layang-layang. Saat itu, Yi Bu melihat seorang anak bermain layang-layang bergambar angka 100 (hlm 196). Saat itu sekitar 1812.
Dia menilai gambar itu aneh dan menduganya sebagai surat utang Belanda yang digunakan selama membangun Jalan Postweg yang membentang dari Anyer sampai Panarukan. Thai Lo tertarik dan menukarnya dengan sekeping tembaga.

Anak itu bersedia dan bercerita bahwa ayahnya menyimpan sepeti kertas serupa. Yi Bu lantas menukar seluruh kertas yang jumlahnya 354 lembar itu dengan sejumlah uang. Benar saja, kertas tersebut ternyata surat utang Gubernur Daendels yang ia keluarkan dengan jaminan tanah di Probolinggo, Besuki, dan Panarukan. Yi Bu menjadi orang kaya setelah menjualnya ke Batavia (202). Dari situlah, Yi Bu mendapati titik balik. Ia mempunyai modal besar untuk usaha dagangnya.

Menyejahterakan petani
Dengan uang itu, Yi Bu mengembangkan usaha tembakau dan membantu menyejahterakan petani. Terdapat beberapa fragmen yang menjadi simpul ketokohan Yi Bu. Pertama, ketika Regent Brebes memberinya nama Oey Thai Lo sebagai penghormatan, yang mencitrakan kebesaran pribadinya karena tanpa pamrih ia telah membantu rakyat dan petani Brebes (hlm 404). Saat itu hama ulat menyerbu tanaman tembakau, saat semua hampir putus asa. Yi Bu mampu punya inisiatif dan rencana bisnis untuk membantu para petani (hlm 316).

Kedua, Oey Thai Lo tampil sebagai pemenang lelang atas Toko Tiga yang mengejutkan para pebisnis di Betawi (412). Thai Lo berani ikut lelang Toko Tiga dan secara mengejutkan memenanginya. Ia mengalahkan para taipan lain. Ketika yang lain menawar dengan kenaikan harga 200 gulden, Thai Lo yang namanya belum dikenal di Batavia berani menawar dengan kenaikan 500 gulden. Toko Tiga dia beli seharga 9.000 gulden.

Ketiga, Oey Thai Lo mendapat jabatan letnan dengan wilayah daerah Toko Tiga ke barat sampai Tangerang (509).

Pangkat yang diperolehnya bermula dari kesederhanaan dan keluhuran budi. Saat itu, meski sudah kaya, Thai Lo tetap berpenampilan sederhana. Di luar jaringan bisnisnya, tak banyak orang mengenal dia sebagai orang kaya. Thai Lo juga sangat dermawan, tetapi perhitungan. Setiap kelenteng dia sumbang, tetapi disurvei dulu untuk mengukur kebutuhannya. Keluhuran budinya itu mendorong Kapiten Betawi Ko Tiang Tjong mengangkatnya menjadi Letnan Oey Thai Lo.

Oey Thai Lo berasal dari kompilasi cerita sebelum tidur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, penulis Robert B Widjaja tidak hanya mengumpulkan kenangan yang tersebar dari satu nenek moyang, tetapi juga membawa kekehidupan impian generasi pertama imigran Tiongkok pada pergantian abad ke-18.

Penulis juga menggali informasi dari batu nisan para leluhur dan cerita dari orangtuanya. Penulis lalu menggunakan imajinasi untuk menenun semua bagian dari informasi yang ditemukan. Sebab bukti yang didapat ternyata kurang, sedangkan hubungan kerabat dengan TiongĀ­kok Daratan pun tidak lagi terjalin. Tapi itulah yang menjadikan novel ini romantis dan memberi wawasan baru.

Salah satunya ialah ketika penulis membuat logis cerita tentang penemuan sepeti harta. Bukannya emas, uang atau permata, melainkan surat utang yang dikeluarkan Daendels.

Itulah cerita tentang taipan Betawi asal Fukien. Banyak orang tidak pernah tahu atau lupa dengan Thai Lo. Banyak dari generasi sekarang lebih kenal dengan Jalan Toko Tiga. Jalanan ini tidak lurus, dan tidak besar. Bahkan cenderung semrawut dan padat. Namun, ternyata di situlah bersemayam warisan Oey Thai Lo, kerja keras! Dan bukti asimilasi damai kebudayaan. (M-2)

miweekend@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya