Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Kumpulan Berita DPR RI
JELANG Lebaran ini, para guru yang mengaji di Madrasah Diniyah Darussalam yang berlokasi di Jombang, Jawa Timur, akan mendapat upah karena pengabdian mereka selama setahun mengajar. Jumlahnya tak banyak, paling hanya Rp150 ribu-Rp200 ribu, bergantung pada berapa jumlah pemberian yang terkumpul. Selama ini, memang hanya segitu bayaran mereka, yang diberikan sekali setahun.
Padahal, kegiatan pengajian di tempat yang didirikan Mahsunuddin, 73, itu berlangsung tiap hari. Pagi-pagi pengajian untuk ibu-ibu, sedangkan sorenya giliran puluhan anak-anak sekitar.
Mahsunuddin yang membuka pengajian di rumahnya sendiri itu bahkan enggan menyebut upah yang diberikan tiap akhir tahun itu sebagai bayaran. Ada 12 guru mengaji di tempatnya, rata-rata merupakan muridnya yang sudah lebih pandai dan bisa membantu mengajar. Ada pula yang tiba-tiba datang menawarkan diri untuk mengabdi di sana. "Memang kita tanamkan ke guru-guru begitu, untuk mengabdi," ujarnya kepada Media Indonesia, Kamis (30/6).
Saat ditanyai cara dirinya menanamkan pengabdian kepada guru-guru yang mengajar di tempatnya, Mahsunuddin mengulangi wejangannya yang biasa. "Kita ini sekarang sedang menabung, ya jangan dibuka sekarang, dibukanya nanti saja di akhirat. Kalau dibuka sekarang, nanti di sana kita tidak punya tabungan, padahal kita akan sangat membutuhkannya."
Denda jika tak mengaji
Pengabdian serupa, tapi dalam kultur Betawi, juga hidup di kawasan Gang Subur, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Sebuah pesan singkat masuk ketika Ahmad Olih hendak membuka acara pengajian di teras rumahnya, Selasa (21/6) malam itu. "Ini ada orang yang minta diurut," katanya menjelaskan soal SMS itu.
Sehari-hari, pria Betawi asli itu memang suka menerima panggilan menjadi tukang urut. Macam-macam keluhannya, pernah korban jatuh dari kereta atau mengalami kecelakaan. Di lain waktu, dia juga seorang seniman yang fokus pada kesenian Betawi, gambang kromong, silat, juga wayang kulit. "Saya mah apa saja dikerjain, pernah juga kerja jadi tukang cuci mobil taksi, tapi saya enggak betah kerja sama orang," akunya dengan gaya nyablak khas Betawi.
Sejak 1995 silam, dia mengadakan pelatihan silat untuk anak-anak di sekitar rumahnya. Kala itu, di antara muridnya, ada yang mengusulkan agar Bang Olih, demikian dia akrab disapa, mengajar mengaji juga. Pasalnya, pengajian untuk remaja di daerah itu sudah lama tidak aktif.
Bang Olih pun setuju mengajar mengaji kendati mengaku dia bukanlah jebolan pesantren. Hingga kini, pengajian As-shirot yang didirikannya masih aktif dengan sederet aktivitas. Saking banyak muridnya, mereka sampai harus bikin tiga cabang lain. Malam Kamis mereka qiraah, malam Jumat mereka berkegiatan Yasin keliling, malam Sabtu pelajaran tajwid, serta taklim dan salawat tiap malam Minggu. Biasanya pengajian dilakukan setelah isya hingga pukul 22.30.
Selain itu, ada juga kegiatan di hari-hari khusus, seperti maulid nabi, Isra Mikraj, sahur bersama, dan membaca 1 juz per malam saat Ramadan, juga tafakur alam dengan camping bersama.
Kegiatan Yasin keliling terbilang menarik karena pengajian dilakukan secara bergiliran di rumah anak-anak yang menjadi muridnya. Penentuan tempat pengajuan dilakukan dengan pengocokan layaknya arisan. Bagi Bang Olih, pengajian Yasin keliling itu penting agar mereka saling mengenal dan tidak bosan mengaji di satu tempat terus.
Di sisi lain, cara itu juga efektif untuk mengenalkan orangtua kepada guru mengaji dan teman-temannya yang lain. "Anak zaman sekarang itu kaya jelangkung, datangnya enggak diantar, pulang enggak dijemput, malah kadang enggak pamit. Jarang orangtuanya yang datang nyerahin anaknya untuk dididik baca Quran."
Anda jangan membayangkan sesosok ustaz yang tutur bahasanya santun dan lembut tertawa. Ketika kami tiba ke rumahnya, ada seorang muridnya yang menyapanya. Dia menimpali dengan santai, "Iya jenong."
Swadaya tapi terpinggirkan
KH D Zawawi Imron, sastrawan yang juga pendidik yang kini menetap di Madura, menilai memang hanya tekadlah yang membuat banyak pesantren dan pengajian secara mandiri hidup dan menjamur di Indonesia. "Mungkin luput dari banyak pengamat sosial. Mereka (pesantren dan pengajian) punya cara sendiri mengatasi masalah sosial di masyarakat," cetusnya.
Ini disebabkan ilmu agama bukanlah sekadar soal ibadah kepada Tuhan, melainkan mengajarkan hubungan baik dengan manusia dan makhluk hidup lain. Andai terwujud kehidupan yang islami, sejatinya takkan kita jumpai perilaku koruptif dan usaha yang eksploitatif.
Signifikannya peran pesantren dan pengajian dalam dakwah mengatasi masalah sosial, menurut Zawawi, tidak bisa ditampik. Secara historis, pesantren bisa dibilang sebagai soko guru Islam di Indonesia. "Sejak sekitar 500 tahun lalu saat zaman para wali, para kiai punya cara sendiri secara turun-temurun mengatasi aneka macam masalah," terangnya menambahkan bahwa prostitusi, kriminalitas, dan kemiskinan juga sebenarnya bisa dijawab dengan menghidupkan budaya mengaji di masyarakat.
Karena melihat banyak yang bisa hidup dengan mandiri, Zawawi menilai hal itu tak mesti dipandang miris. Kondisi itu tak perlu direspons pemerintah dengan memberikan alokasi dana. "Tidak harus ada dana, kalau mereka memang sudah siap untuk mandiri. Kalau dikasih dana dan subsidi, malah mungkin jadi ketergantungan, padahal kemandirian itu penting," pungkasnya. (Her/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved