Akses Sanitasi bagi Kampung

Fario Untung Tanu
02/7/2016 06:20
Akses Sanitasi bagi Kampung
(MI/SUMARYANTO)

PENYAKIT saluran pencernaan merupakan salah satu penyakit yang mematikan di Indonesia.

Tercatat, sebanyak ratusan ribu nyawa meninggal setiap tahunnya akibat dari penyakit tersebut.

Bukan tanpa sebab, akar dari permasalahan utama tersebut ternyata akibat tidak adanya jamban yang layak di rumah warga sehingga banyak masyarakat yang rentan terkena penyakit yang menyerang saluran pencernaan.

Budi Laksono, pria yang saat itu bertugas menjadi dokter di Puskesmas Kedung Wuni, Pekalongan, Jawa Tengah, tergerak hatinya untuk menekan angka kematian akibat penyakit saluran pencernaan dengan menyosialisasikan program jambanisasi di wilayah Semarang, Jawa Tengah, pada 1997.

"Permasalahan kesehatan dari penyakit seperti ini tidak hanya ada di Semarang dan Jawa Tengah saja, tetapi masih banyak daerah di Indonesia yang juga masih bermasalah dengan sanitasi yang bersih dan layak untuk kehidupan manusia," tutur Budi.

Pria kelahiran Semarang, 6 Maret 1963, itu mengatakan banyak faktor yang menyebabkan masyarakat masih enggan menggunakan jamban, di antaranya permasalahan ekonomi.

Biaya pembuatan jamban masih relatif mahal.

Selain itu, ada masalah ketersediaan air yang masih banyak sulit didapat di daerah terpencil.

"Nah, jadi masalah-masalah seperti itu yang menyebabkan banyak masyarakat lebih memilih untuk membuang kotoran di kebun atau sungai karena lebih mudah dan praktis," papar pengajar tamu S-2 Unnes itu.

Putra ketujuh pasangan Bits Sutrasno dan Sulastri itu mengusulkan pembuatan jamban yang murah, mudah dibuat, dan dapat digunakan meski tanpa air yang diberi nama jamban amfibi.

Jamban kreasi Budi dijual seharga Rp180 ribu. Tak mengherankan jika banyak warga yang memilikinya dan terhindar dari penyakit mematikan, terutama penyakit pencernaan.

"Jadi bagaimana solusinya supaya sebuah jamban bisa digunakan ketika musim kering dan musim basah. Nah dibuatlah jamban amfibi sehingga ketika musim kering, jamban itu bisa tetap berfungsi tanpa menggunakan air, dan jika musim basah, bisa lebih bagus karena ada air yang bisa membersihkannya," papar Budi.


Jambanisasi

Sadar jika keluarga miskin akan kesulitan dengan uang, alumnus Universitas Diponegoro itu memutuskan membiayai program itu.

Pada tahap awal, dirinya membuat program jambanisasi untuk satu kampung dengan dana Rp15 juta untuk membuat 50 jamban.

Program itu berlanjut dengan beberapa bantuan dari berbagai pihak.

"Akhirnya ada bantuan dari Wali Kota Semarang yang tertarik ikut membantu biaya pembuatan 5.000 jamban di empat kecamatan di Semarang," sambung dokter lulusan S-3 Universitas Diponegoro itu.

Sejak 2004, ribuan jamban keluarga di berbagai daerah di Semarang sudah dibangun.

Saat ini, Budi pun bekerja sama dengan berbagai instansi untuk membangun lebih banyak lagi jamban keluarga sebagai langkah mengurangi tingkat kejorokan negara di dunia.

"Kita (Indonesia) itu di peringkat 9 dari 10 negara paling jorok di dunia. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS), 38% (94 juta warga) dari seluruh masyarakat di Indonesia itu belum memiliki akses jamban atau jamban yang layak pakai," sambung Budi.

Atas apa yang sudah dilakukannya, ia pun mendapatkan penghargaan dari Museum Rekor Dunia Indonesia (Muri) sebagai penggagas jamban keluarga serta menjadi partisipan rakyat pertama di Indonesia pada Oktober 2011 yang penelitiannya sudah diperkenalkan di banyak negara seperti Bangladesh, Kamboja, dan Timor Leste.

Bahkan cita-cita Budi agar seluruh masyarakat di Indonesia memiliki jamban yang layak akan segera terwujud karena jamban amfibi buatan Budi itu akan mendapat dukungan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

"Ya saya berharap agar seluruh masyarakat Indonesia ke depan sudah bisa memiliki akses sanitasi yang layak, bersih, dan sehat sehingga bisa terhindar dari segala macam penyakit yang mematikan," pungkas Budi. (M-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya