Indonesia Segera Ratifikasi FCTC

Puput Mutiara
22/6/2016 06:45
Indonesia Segera Ratifikasi FCTC
(ANTARA/Teresia May)

POLEMIK pertembakauan di Indonesia hingga kini masih terus bergulir. Salah satunya terkait dengan rencana pemerintah untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang hingga kini belum juga dilaksanakan meski hal itu dinilai sangat mendesak oleh beberapa kalangan.

Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Subuh, ketika dimintai tanggapan tentang ketidakjelasan sikap Indonesia, mengatakan sampai saat ini persoalan tersebut masih dibahas di tingkat sidang kabinet. Hasilnya nanti akan diserahkan kepada presiden untuk segera ditindaklanjuti.

“Dalam waktu dekat akan tanda tangan (FCTC). Mungkin habis Lebaran,” ujarnya, kemarin.

Menurut dia, desakan penandatanganan itu disebabkan hampir seluruh negara sudah meratifikasi usul Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang pemanfaatan dan pemasaran produk tembakau. Tidak terkecuali, Tiongkok dan Brasil yang notabene sebagai negara penghasil tembakau terbesar di dunia. Dijelaskan, FCTC bukan semata-mata menyangkut persoalan industri rokok yang dianggap bisa merugikan dari sisi ekonomi akibat berkurangnya cukai. Lebih dari itu, hal tersebut merupakan komitmen suatu negara untuk melindungi generasi muda dari risiko serta dampak bahaya rokok terhadap kesehatan.

“Kita harus menyadari banyak yang meninggal karena rokok. Lebih miris lagi, jumlah perokok pemula justru terus meningkat,” ucapnya.

Menurut dia, dengan penandata­nganan FCTC, upaya pencegahan dan sosialisasi terutama menyangkut kerugian akibat bahaya rokok akan semakin mendapat dukungan. Tidak hanya berasal dari kalangan pemerintahan atau stakeholder dalam negeri, tetapi juga di dunia.


Dukung pemerintah

Ketua Komisi 9 DPR RI Dede Yusuf melihat persoalan tembakau tidak sebatas pada dampak buruk bagi kesehatan atau kelangsungan hidup generasi muda. Faktanya, sekitar 70% tembakau yang digunakan industri rokok di Tanah Air bukan berasal dari Indonesia, melainkan impor dari Tiongkok dan Amerika Serikat.

“Yang lokal itu cuma 30% dari Jawa Tengah, Jawa Barat, dan daerah penghasil tembakau lainnya. Jadi secara tidak langsung kita subsidi petani tembakau di luar negeri,” ungkapnya.

Lebih lanjut, terang Dede, dari sisi ketenagakerjaan, hal itu juga tidak berdampak dominan. Mayoritas industri rokok saat ini sudah menggunakan peralatan mesin untuk produksi rokok mereka.

Meski demikian, Dede berpesan untuk lebih dulu mempertimbangkan segi kesiapan, terutama persoalan cukai yang masih menjadi kendala utama karena penerimaannya yang cukup besar, yakni mencapai Rp115 triliun. “Win win solution-nya cukai dinaikkan sehingga harga rokok mahal dan tidak sembarangan bisa dijual di warung atau 50% pendapatan cukai dikembalikan untuk kesehatan,” tandasnya.

Di sisi lain, Dede mengaku menolak RUU Pertembakauan dan meng­upayakan untuk diganti menjadi RUU Pengendalian Dampak Bahaya Tembakau. Akan tetapi, hal itu urung diperjuangkan karena tidak pernah sekali pun masuk pembahasan Badan Legislasi.

“Makanya sampai sekarang Komisi IX tidak pernah diajak dalam diskusi mengenai itu,” tandasnya. (H-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Zen
Berita Lainnya