Headline
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
Surya Paloh tegaskan Partai NasDem akan lapang dada melakukan transformasi regenerasi.
PEMERINTAH belum memiliki instrumen untuk menarik lahan pemegang izin perkebunan yang terbakar. Padahal, Presiden Joko Widodo meminta semua kawasan yang mengalami kebakaran hutan dan lahan (karhutla) direstorasi pemegang izin hingga kemungkinan untuk penarikan lahan.
Hingga saat ini, baru Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang memiliki peraturan yang memaksa korporasi untuk melakukan restorasi di kawasan terbakar mereka. “Akan tetapi, itu baru di kawasan hutan saja, belum di perkebunan,” ucap Deputi bidang Perencanaan dan Kerja Sama Badan Restorasi Gambut (BRG) Budi Wardhana dalam Diskusi Grup Terfokus bertajuk Perlindungan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) hingga Kuartal Dua 2016, di Jakarta, kemarin.
Padahal, imbuhnya, melakukan restorasi di kawasan konsesi merupakan hal yang mudah. BRG hanya perlu melakukan komunikasi dengan konsesi dan memberikan arahan. Akan tetapi, dengan belum adanya instrumen yang dapat memaksa para pemegang izin perkebunan untuk bergerak, potensi untuk tidak tidak dilakukannya restorasi dapat terjadi. Hal itu akan sangat merugikan negara.
“Kalau di kami sudah jelas langkahnya, (dirjen) penegakan hukum masuk, lalu memberikan sanksi administrasi. Kalau semua sudah dilakukan, mereka bisa beroperasi lagi,” terang Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian LHK MR Karliansyah saat ditemui dalam kesempatan yang sama.
Kementerian LHK memiliki produk yang memaksa konsesi hutan tanaman industri dan hutan produksi untuk melakukan restorasi melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 77 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penanganan Areal yang Terbakar dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Sementara itu, untuk kawasan perkebunan, masih belum ada instrumen serupa.
Beda pemahaman
Selain itu, kawasan perkebunan memiliki beda pemahaman terkait dengan tata kelola air di kawasan gambut. Jika PP Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut mewajibkan tinggi muka air dari permukaan gambut harus mencapai 40 sentimeter, Permen Pertanian Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan lahan Gambut untuk Budi Daya Kelapa Sawit memperbolehkan batas air dari permukaan gambut mencapai 60 sentimeter hingga 80 sentimeter.
“Tapi kan di sini PP lebih tinggi daripada permen. Kita bisa berikan sanksi bagi mereka yang masih ngotot,” terang Karliansyah.
Sementara itu, pakar gambut Universitas Gadjah Mada (UGM) Azwar Maas menyatakan permen tersebut masih kerap disalahgunakan bahkan oleh pemegang izin di kawasan luar perkebunan. Akibatnya, masih ada pengeringan lahan gambut yang menjadikan gambut rawan terbakar.
Untuk itu, dikatakaan Azwar yang juga merupakan Ketua Kelompok Ahli BRG, diperlukan upaya untuk menyinkronkan kebijakan tersebut.
“Kami di kelompok ahli mengupayakan untuk membuat aspek legal, akan kami satukan agar semuanya berpaut pada upaya restorasi,” tukas Azwar.
Sebelumnya, BRG telah menyelesaikan pemetaan area lahan gambut seluas 2,6 juta hektare yang menjadi prioritas restorasi hingga 2020. Seluas 87% dari keseluruhan luas tersebut merupakan kawasan budi daya dan 13% sisanya masuk kawasan lindung. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved