PGRI Serukan Dialog Terkait Guru Honorer

Syarief Oebaidillah
17/6/2016 06:05
PGRI Serukan Dialog Terkait Guru Honorer
(MI/RAMDANI)

PENGURUS Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PB PGRI) menyerukan pentingnya dialog menyelesaikan masalah tenaga honorer K2 (TH K2).

Penyelesaian dilakukan secara komprehensif bertahap dengan alternatif sesuai kondisi kemampuan pemerintah.

"TH K2 dan juga guru ho-norer pada umumnya be-kerja sangat keras mengisi dan mendidik siswa karena memang terjadi kekurangan guru secara riil. Setiap tahun banyak guru yang pensiun, utamanya yang diangkat sejak 1975-an. Nah, kekurangan itu diisi para guru honorer," kata Plt Ketua Umum PB PGRI Unifah Rasyidi saat dihubungi Media Indonesia, kemarin.

Unifah mengatakan itu terkait pernyataan anggota Ombudsman RI (ORI) Laode Ida yang meminta Kemenpan dan Rebiro memperhatikan TH K2 yang sudah membuktikan pengabdian kepada bangsa dan negara dalam waktu begitu lama tanpa kepastian.

"Kita bisa bayangkan honor mereka yang besarannya ada yang minimal hanya Rp50 ribu per bulan. Namun bertahan mengabdi dengan harapan suatu saat bisa berstatus sebagai PNS," kata Laode Ida.

Laode Ida juga menduga ketidakberesan dalam rekrutmen K2 pada tahun sebelumnya kurang diperhatikan Kemenpan dan Rebiro.

Dalam hal itu Unifah berharap berbagai indikasi ketidakberesan dalam manajemen penerimaan dan tes TH K2 perlu diinvestigasi untuk memastikan benar tidaknya fakta penyimpangan.

"Yang penting harus dijelaskan pada publik atau pada TH K2 itu sendiri sehingga persoalannya clear (jelas)," kata Unifah.

Ia juga meminta masalah TH K2 diselesaikan dahulu karena mereka sudah masuk basis data dan pemerintah melalui Kemenpan dan Rebiro pernah berjanji akan meng-angkat mereka pada Januari 2015.

Namun, itu dibatalkan sehingga meresahkan TH K2.

Disortir

Pengamat pendidikan Indra Charismiaji berpendapat, pertama, melihat situasi di lapangan temuan-temuan forum TH K2 bisa saja benar terjadi.

"Kalau saya jadi pemerintah juga tidak akan mau mengakuinya karena akan sama saja mencoreng muka sendiri," ujar Indra.

Yang kedua, kata dia, dalam menghadapi urusan negara semua keputusan harus diambil yang terbaik untuk Indonesia.

"Jadi seharusnya ego setiap individu harus ditekan. Pikirkan yang terbaik untuk negara, seluruh bangsa Indonesia, bukan kelompok atau golongan tertentu. Dalam hal ini lupakan dulu janji-janji pejabat politik, lupakan dulu kesejahteraan guru honorer yang minim. Kita lihat dulu berapa kekuatan anggaran kita," papar Indra.

Ia menyarankan kualitas guru disortir sehingga yang tidak layak menjadi guru ja-ngan memaksakan diri.

Apalagi menuntut bayaran tinggi.

"Karena guru-guru dengan kompetensi atau kemauan belajar rendah ini yang akan merusak bangsa," tegasnya.

Dia menunjuk data perkembangan jumlah guru honorer pada 1999-2015 yang mencapai 860%, sedangkan jumlah siswa hanya naik 17% dan guru PNS naik 23%.

"Apa memang kita perlu guru ho-norer sebanyak itu. Kita harus membuat analisis kebutuhan. Bukan asal comot, terutama yang dilakukan pemerintah daerah," tandasnya.

Sementara itu, Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud, Sumarna Surapranata, tidak mau berkomentar.

"Karena pengangkatan guru honorer dilakukan oleh pemerintah daerah (pemda). Ini pekerjaannya pemda, bukan Kemendikbud," tukasnya. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya