Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
DI sebuah ruang yang lantainya telah diberi marka dengan lakban berwarna cokelat, dua perempuan tengah sibuk menempeli beberapa label ke deretan botol gelap berukuran kecil. Di seberang mereka, ada satu ruang yang serbabersih dengan beberapa peralatan untuk meramu bahan-bahan yang ada di dalam kemasan yang sudah tertata. Aroma kunyit, kayu manis, dan beberapa bau yang kurang familier meruap di ruangan itu.
Bangunan serbaputih yang terletak di Jalan Cijagra nomor 66, Buahbatu, Bandung, itu miik Agustina Ciptarahayu, pendiri produk perawatan rumah dan personal Botanina. Di alamat tersebut berdiri kantor baru Botanina, yang baru beberapa hari pindahan.
Marka-marka yang ada di lantai itu ialah anjuran dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) untuk Botanina yang memproduksi produk perawatan, termasuk spesifikasi ruang lab formulasi, pengemasan, sekaligus jarak dengan ruang kantor. Di lantai dua, pagi itu ada sekitar tiga tim kreatif Botanina yang tengah rapat mendiskusikan proyeksi konten. Di seberang mereka, terdapat satu ruang yang menurut rencana bakal diatur sebagai studio. Di kantor lama yang terletak di Jalan Cigadung, mereka belum punya studio sendiri. Biasanya untuk sesi foto produk, mereka sewa studio atau hotel.
Tina, sapaan akrab Agustina, bercerita bagaimana awal ia mengembangkan bisnisnya yang dimulai pada 2014. Di awal, ia masih melakukan semuanya sendiri dan hanya dibantu sang suami untuk mengantarkan pesanannya. Bahkan, saat hamil dan mengalami pecah ketuban, Tina masih menyempatkan diri mengecek Whatsapp untuk mengurus pesanan.
Dengan berkaca pada peristiwa jelang lahiran itulah, ia bertekad untuk mencari rekan bisnis. Selang tiga bulan seusai melahirkan, Tina pun akhirnya bertemu rekan bisnisnya, Olva Patriani, yang bertugas di bagian pemasaran.
Perjalanan Tina merintis Botanina sebenarnya dimulai jauh sebelum 2014, atau tepatnya pada 2010. Ketika itu kesadaran tentang gaya hidup sehat masih belum menjadi perhatian publik secara luas.
“Di 2010, aku ketemu dengan satu jurnal yang intinya menceritakan polusi di dalam ruangan itu bisa lebih tinggi bila dibandingkan dengan polusi luar ruangan. Di masa itu, kan, banyak orang yang tidak tahu soal ini,” kenang Tina, yang pada pagi di penghujung Juni itu tampil dengan setelan serbahitam dan luaran bernuansa cokelat, saat berbincang dengan Media Indonesia.
Dari situlah Tina terpantik. Rumah yang menjadi tempat bernaung justru menjadi sarang polusi. Ia pun kemudian menelusuri muasal polusi yang terendap di dalam rumah. “Datangnya, ya, dari produk-produk keseharian yang dipakai. Mulai dari detergen, alat cuci piring, dan pengharum ruangan. Ternyata sebenarnya ada alternatif untuk produk-produk keseharian tersebut yang mengandung banyak bahan sintetis dan itu terakumulasi dan mengandung risiko bagi kesehatan manusia.”
Lulusan teknik industri itu pun kemudian mempelajari formulasi produk alami. Ia belajar secara daring dari para pakar di luar negeri, termasuk AS. Empat tahun berselang ia memutuskan apa yang dipelajarinya itu menjadi bisnis.
Salah satu yang juga turut memantiknya untuk meneruskan proses belajarnya menjadi bisnis ialah ketika itu ia yang tengah memasuki masa empat bulan hamil cukup kesulitan menemukan produk alami. Ketika berkunjung ke mal, ia cuma menemukan produk yang bahan naturalnya minor, atau sekalipun 100% natural, mahalnya minta ampun.
“Jadi pengin bikin produk yang sehat dan dari bahan alami lebih bisa diakses banyak orang karena kesehatan itu, kan, juga hak asasi.”
Mitra bisnis
Dalam perjalanan awalnya, sehari paling Botanina cuma punya lima pesanan produk. Hingga kemudian ia menggandeng mitra bisnisnya pascapersalinan, yang mengurusi sisi pemasaran, peningkatan mulai terlihat. Dari yang tadinya lima, kemudian ada sekitar 15 item per hari. Jika diakumulasikan termasuk dengan proses Tina mendapat ilmunya, tentu modal awalnya tidak murah. Setidaknya Rp100-an juta digelontorkan untuk belajar formulasi tentang bahan natural hingga pengembangan produk Botanina.
Sejak 2014, Botanina memang sudah mengandalkan instrumen digital. Sederhananya ketika itu via media sosial Instagram dan aplikasi perpesanan Whatsapp.
“Waktu itu cara marketing di Instagram belum zaman influencer (pemengaruh). Pas mitra bisnisku masuk yang memang ngurusin marketing, kami mulai ikuti akun-akun orang di Instagram. Ketika mengikuti, berharap mereka membaca profil kami lalu membeli. Lalu mulai ke influencer. Bukan cuma selebgram, juga bloger kami gandeng,” terang Tina.
Karena target pasar Botanina ialah keluarga muda yang memiliki anak kecil, mereka pun menggandeng para pemengaruh dengan profil serupa pada masa itu. Salah satu impak yang cukup dirasakan kala itu eksposur Botanina menjadi lebih luas. Di samping itu, ketika si pemengaruh punya acara dengan organizer, kerap kali Botanina juga diangkut menjadi sponsor acara tersebut.
“Jadi banyak orang yang tidak kami kenal follow Instagram Botanina. Selain itu, karena influencer di masa dulu dengan sekarang ini cukup berbeda, ketika mereka memberikan ulasan produk Botanina, ulasannya juga dipercaya audiens mereka.”
Peran reseller
Namun, kebangkitan omzet Botanina secara eksponensial justru berkat kehadiran para reseller saat itu. Sebagai produk perawatan rumah dan personal berbahan alami, dengan kesadaran publik pada 2014 juga masih baru berdengung, bisa dibilang pasar Botanina masih niche.
Puncak awal kejayaan mereka justru didorong dengan kehadiran para reseller yang turut mencetakkan omzet mereka hingga Rp800-an juta per bulan, periode sebelum pandemi covid-19.
“Kami, kan, pas di awal itu bukan kuat di penjualan. Kuat dari sisi produknya, dengan berkolaborasi dan segala macam. Puncaknya itu, ya, pas ada reseller. Mereka sudah ada toko dan konsumen sendiri. Dari situ langsung naik,” terang Tina.
Namun, situasi itu juga turut berubah akibat hantaman covid-19. Para reseller Botanina yang ada di 14 kota di Indonesia tidak lagi jadi tulang punggung cuan. Karena berawal dari pengalaman aroma yang ditawarkan produk Botanina, mustahil ketika masa pandemi konsumen untuk mengambil risiko mencicip produk yang mengharuskan mereka untuk menghirup. Di samping itu, karena produk Botanina bukan produk kebutuhan pokok, sejak covid-19 omzet mereka pun terkoreksi.
Lokapasar digital
Dengan perubahan yang terjadi, Botanina sadar bahwa mereka harus membentuk strategi baru. Sejak tahun lalu, mereka pun kian mengoptimalkan beberapa fitur yang ditawarkan lokapasar digital (e-commerce). Mulai iklan, kampanye, hingga beberapa fitur promo.
Manajer Penjualan Botanina Monica Petronela, yang baru bergabung pada 2021, berperan untuk mengaktivasi berbagai fitur tersebut. Hasilnya pun cukup bisa menyelamatkan laju bisnis Botanina. Dulu 70%-nya ialah reseller, sedangkan kini situasinya berbalik pada 60% ritel, 30% B2B, dan 10% reseller.
“Sebelum aku bergabung di Botanina sebenarnya sudah ada di marketplace, tapi banyak fitur yang memang belum diaktivasi. Kami coba aktivasi ulang. Tiap ada tawaran dari marketplace juga kami ikuti kampanyenya. Ada fitur toko cabang yang mendekatkan ke customer, paket bundling, atau afiliasi, kami ikuti,” kata Monica yang mendampingi Tina.
Promo yang biasanya hadir di lokapasar digital diadopsi untuk para pelanggan Botanina yang sudah terbiasa berbelanja produk mereka via website dan Whatsapp.
“Seperti payday sale di akhir bulan itu, kan, adanya di e-commerce. Nah, itu kami terapkan juga di kanal penjualan lain. Sejauh ini, return iklan yang kami alokasikan masih masuk akal. Untuk bujet per bulannya biasanya Rp2 juta-Rp3 juta untuk iklan di e-commerce,” tambah Monic, sapaan Monica.
Saat ini, dengan skala produksi 2.500-an item per bulan, omzet Botanina rerata berada di kisaran Rp200 juta-Rp300 juta. Tentu angka itu jauh bila dibandingkan dengan omzet yang mereka cetak pada periode sebelum pandemi.
Botanina juga punya tim kreatif yang menyusun segala materi konten kreatif di seluruh instrumen digital, baik di media sosial, website, maupun lokapasar digital.
“Impak dari digital ini pertama adalah citra kami. Botanina, kan, tidak punya toko luring resmi. Kehadiran digital bisa menyampaikan citra kami. Kedua, tentu soal lebih cepatnya akses. Di ritel, kami sudah punya konsumen di 140-an kota. Jadi, bisa lebih cepat dan luas,” jelas Tina.
Dengan digital pula, mereka bisa menemukan calon konsumen dari luar Indonesia. Selain itu, terakhir produk Botanina masuk ke lokapasar digital di Singapura sehingga itu juga memudahkan pasar Singapura untuk memesan produk mereka tanpa menunggu ekspor.
“Tantangan kami justru apakah bisa mengimbangi permintaan pasar. Misalnya ada juga yang mau beli dari Jepang. Kami juga masih memikirkan kanal yang bisa membantu di logistik,” terang Tina. (M-4)
Botanina
Produk kesehatan dan perawatan rumah dan personal yang sudah beroperasi sejak 2014. Menggunakan 100% bahan natural.
Pendiri & CEO: Agustina Ciptarahayu
Pendidikan
-Teknik industri ITB, 2001-2005
-MBA Entrepreneurship/Entrepreneurial Studies ITB, 2006-2008
-Aromatherapy Certification Program, Aromahead Institute, 2018-sekarang
Untuk tampilan formal, Teuku Wisnu sering mengandalkan koleksi merek fesyen muslim lokal, Makhtab. Menurut dia, kualitasnya tak kalah dari produk brand ternama luar negeri.
Koleksi bertajuk Chara tersebut merupakan kolaborasi antara jenama et cetera yang lekat dengan potongan busana timeless dengan Nadjani yang identik dengan motif abstrak
Pemerintah Kabupaten Klaten menggelar Festival IKM (Industri Kecil Menengah) 2024 di Alun-alun Klaten. Kegiatan festival ini dibuka Bupati Sri Mulyani, Kamis (4/7) malam.
Mayoritas produk yang digunakan masyarakat Timor Leste berasal dari Indonesia.
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan transformasi digital, upaya untuk mendorong pilihan produk lokal semakin mendapat perhatian yang serius.
Gino Mariani mendaftarkan rekor MURI untuk merek sepatu kulit dengan model boots terlama yang masih diproduksi.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved