Pelayanan Darah Ditingkatkan

Puput Mutiara
03/6/2016 07:35
Pelayanan Darah Ditingkatkan
(ANTARA/RAHMAD)

KETERSEDIAAN darah di sarana kesehatan sangat ditentukan partisipasi masyarakat melalui kegiatan donor darah. Namun demikian, untuk menjamin keamanan, transfusi darah perlu ditunjang fasilitas, sarana, dan prasarana yang memadai.

Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek mengatakan pelayanan darah yang aman dapat menurunkan angka kematian ibu. Pasalnya, saat ini diketahui 30% penyebab kematian ibu di Indonesia disebabkan perdarahan.

“Untuk itu, puskesmas, Unit Transfusi Darah (UTD), dan rumah sakit (RS) juga harus bekerja sama menjamin keter-sediaan darah. Utamanya bagi ibu hamil, bersalin, dan nifas,” ujarnya saat membuka acara Peringatan Hari Donor Darah Sedunia di Kantor Kemenkes, Jakarta, kemarin.

Hingga 2019, pemerintah menargetkan jumlah puskesmas yang bekerja sama melalui dinas kesehatan dengan UTD dan RS mencapai 5.600 puskesmas, dari target tahun ini 1.600 puskesmas.

“Saat ini, 1.029 puskesmas melalui 36 dinas kesehatan kabupaten/kota telah menandatangani nota kesepahaman dengan UTD dan RS,” ungkap Menkes.

Ia pun menjelaskan perluasan akses pelayanan darah bukan hanya untuk menjamin tersedianya darah bagi ibu hamil, melahirkan, dan nifas. Lebih dari itu, akses pelayanan darah akan meningkatkan peran masyarakat sebagai pendonor darah sukarela.

Berdasarkan standar Badan Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO), jumlah kebutuhan minimal darah di Indonesia sekitar 5,1 juta kantong per tahun, sedangkan produksi darah dan komponennya saat ini baru 4,6 juta kantong dari 3,05 juta pendonor dengan 86,2% di antaranya sukarela.

“Jadi kita masih kekurangan 500 ribu kantong darah. Apalagi menjelang Ramadan, kita sama-sama tidak berharap kecelakaan meningkat,” tandasnya.

Sistem transfusi
Kepala Perwakilan WHO untuk Indonesia Jihane Tawilah menegaskan bahwa donor darah, selain menyelamatkan hidup seseorang, bisa menjadi pintu penularan virus hepatitis B dan C, HIV, atau penyakit lainnya jika terjadi kontaminasi.

Dengan begitu, WHO menyarankan pengembangan sistem transfusi darah, misalnya dengan keberadaan komite transfusi rumah sakit yang memantau dan mengidentifikasi serta memastikan terjadinya transfusi yang aman.

Lebih lanjut, jelas Tawilah, penularan penyakit dari jenis donor darah sukarela tak berbayar relatif kecil jika dibandingkan dengan donor keluarga atau donor berbayar. Dengan demikian, negara anggota WHO didorong untuk memiliki sistem tersebut. “Meski sebenarnya transfusi tidak sungguh-sungguh itu dapat dicegah, hal itu masih terjadi karena kurang layaknya mutu penyaringan dan screening pada pelayanan transfusi darah.”

Bekerja sama dengan Komisi Nasional Penanggulangan AIDS dan Palang Merah Indonesia (PMI), WHO telah menyediakan dukungan teknis bagi pengembangan pemanfaatan darah dengan bijak juga screening virus hepatitis B dan C, serta sifilis. “Tenaga-tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan perlu mengetahui hal-hal itu.” (H-2)

puput.mutiara@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya