Budi Daya di Gambut Harus Bernilai Ekonomi

Richaldo Y Hariandja
01/6/2016 08:40
Budi Daya di Gambut Harus Bernilai Ekonomi
(MI/ARIES MUNANDAR)

Restorasi gambut lebih sulit ketimbang menjaga lahan gambut yang lebih baik untuk tidak rusak. Di atas kawasan gambut yang rusak, terdapat aktivitas dari masyarakat maupun korporasi dan pertumbuhan ekonomi.

Itu sebabnya, dalam melangsungkan restorasi, penguatan ekonomi juga perlu dilakukan agar masyarakat maupun korporasi tidak melakukan tindakan salah tata kelola yang dapat menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar.

"Mau tidak mau kita pasti butuh untuk mengakses gambut karena pertumbuhan penduduk dan ekonomi," terang Profesor Kehormatan Universitas Hokkaido Mitsuru Osaki dalam Konferensi Pers Simposium Bersama Restorasi Gambut dan Pencegahan Kebakaran Gambut di Pekanbaru, Riau, kemarin.

Akan tetapi, lanjut dia, pembukaan akses pada lahan gambut harus juga memperhitungkan keberlanjutan dari gambut tersebut. Salah satunya ialah dengan memperhatikan tanaman lokal yang benar-benar cocok di lahan gambut.

Menurut Osaki, membuka lahan gambut untuk ditanami ekosistem buatan dan tiruan merupakan hal yang dapat merusak gambut. "Akasia dan sawit tidak cocok di lahan basah, baiknya kita gunakan lahan gambut dengan ekosistem asli."Dengan demikian, selain menjaga gambut, masyarakat diajari untuk menjaga karbon yang terkandung dalam gambut. Terlebih dengan menjaga gambut, terdapat keuntungan yang didapat masyarakat dan Indonesia secara keseluruhan.

Hal itu disebabkan dana hibah akan diberikan jika Indonesia bisa menjaga gambut. "Dalam COP21 lalu, secara global kita diminta menjaga gambut. Ada janji pendanaan juga di sana. Lalu pemerintah Jepang juga bersedia membantu lewat kerja sama bilateral dengan Indonesia," imbuh Osaki.

Tawarkan opsi

Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG) Nazir Foead dalam kesempatan yang sama menyatakan segala bentuk opsi harus dikembangkan dan ditawarkan kepada masyarakat. Dengan demikian, ketika masyarakat dapat melihat jelas prospek terhadap tanaman tersebut, masyarakat dengan sendirinya dapat memilih tanaman yang cocok di lahan gambut mereka.

"Saya yakin, kalau diberitahu dengan jelas, masyarakat dapat tertarik," ucap Nazir. Oleh karena itu, pertimbangan yang memungkinkan untuk membudidayakan tanaman khas terdapat pada sagu, seperti contoh di Kabupaten Meranti, Riau, yang mandiri dengan perkebunan sagu mereka, ataupun nanas yang telah dikembangkan sebagian di kawasan gambut di Riau, dan Palembang, Sumatra Selatan.

"Akan tetapi, masyarakat harus siap ketika nanti ada investor masuk. Kita tidak bisa hanya mengandalkan KUR (kredit usaha rakyat) saja," tambah Nazir.

Senada dengan Nazir, Peneliti Gambut kawasan Asia Tenggara Universitas Kyoto Kosuke Mizuno dalam kesempatan itu mengatakan selama ini pilihan masyarakat pada sawit disebabkan godaan ekonomi. Itu sebabnya, dengan memberlakukan budi daya yang bernilai ekonomi tinggi, restorasi dapat berhasil.

"Pengalaman saya, ketika masyarakat tahu ada sagu yang bisa dijadikan sumber penghasilan,mereka malah minta hal tersebut diimplementasikan di wilayah mereka," tukas Mizuno. (H-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya