Negara Patut Waspadai Angka Konsumsi Rokok

Melati Yuniasari Fauziyah
31/5/2016 09:10
Negara Patut Waspadai Angka Konsumsi Rokok
(MI/Susanto)

DALAM 20-23 tahun mendatang, negara akan menanggung beban biaya yang tinggi apabila pengendalian konsumsi rokok tidak diperhatikan. Pasalnya, pemerintah terlalu terpaku pada pembangunan infrastuktur saja dan melupakan dengan pembangunan manusianya.

Demikian dikatakan pakar kesehatan masyakarat Hasbullah Thabrany. Menurutnya, pengendalian konsumsi rokok saat ini masih tertunda. Namun, dalam lima tahun terakhir, ia melihat masyarakat mulai sadar akan bahaya rokok.

"Dalam jangka pendek, rokok tidak membuat bangkrut rumah tangga, tetapi produktivitas menjadi kurang optimal sehingga menurun­kan jumlah penghasilan keluarga," terangnya saat dihubungi, Jumat (27/5).

Berbagai penyakit pun akan bermunculan dalam jangka panjang. Hal itu tentu berdampak pula pada kurangnya produktivitas masyarakat. Ia mencontohkan, saat pesta olahraga negara-negara Asia Tenggara, SEA Games 2015, Indonesia menempati posisi kelima, sedangkan Thailand pada posisi pertama. Padahal, jumlah penduduk Indonesia ada di posisi pertama.

Ia menyebutkan bahwa hal tersebut dapat menjadi salah satu indikator penduduk Indonesia yang mulai kurang produktif. Ketika masyarakat tidak produktif, dampaknya akan terasa pada faktor ekonomi yang menjadi tidak optimal.

Namun, ia menegaskan bahwa negara tidak akan bangkrut hanya karena pe­rokok. Negara perlu menaikkan harga dan cukai rokok sehingga uang yang diterima dari cukai rokok tersebut sebagian dapat dimasukkan ke iuran BPJS dan sebagian pada cukai negara, seperti yang telah dilakukan Filipina sejak 2013.

Menurut data Global Adult Tobacco Survey (GATS) Indonesia Report tahun 2011, Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah prevalensi perokok aktif ter­tinggi di dunia, yakni 67% pria dan 2,7% wanita.

Sementara itu, berdasarkan The Tobacco Altas (TTA) tercatat lebih dari 2.677.000 anak dan 53.767.000 orang dewasa mengonsumsi tembakau setiap harinya. Dengan rincian 57,1% pria, 3,6% wanita, 41% anak laki-laki, dan 3,5% anak perempuan. Proporsi itu lebih tinggi daripada negara berpendapatan menengah lainnya.
Menteri Kesehatan Nila F Moeloek menegaskan bahwa penggunaan tembakau dalam bentuk apa pun tentu dapat memberikan dampak jangka panjang pada kesehatan.

Aturan perlindungan anak
Sementara itu, Direktur Advokasi Hak Anak Human Rights Watch Jo Becker menekankan pentingnya sebuah perusahaan rokok membuat aturan untuk melindungi anak yang bekerja di pertanian tembakau. Namun, tidak satu pun perusahaan rokok yang memiliki aturan tersebut.

Untuk itu, ia merekomendasikan perusahaan rokok agar membuat aturan yang melarang pembelian tembakau dari pihak yang mempekerjakan anak dengan tembakau. Pemerintah juga di­minta membuat daftar pekerjaan berbahaya yang tidak boleh melibatkan anak.

"Kami sudah mengirim surat kepada 13 perusahaan rokok nasional dan multinasional. Tapi beberapa produ­sen nasional, seperti Gudang Garam, sama sekali tidak merespons," cetusnya. (Mut/H-2)

melatiyuniasari@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya