Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
Kepala Biro Umum Kementerian Agama Faesal Musaad memastikan tidak ada larangan penggunaan pengeras suara untuk mengumandakan azan.
“Edaran Menag tidak melarang azan dengan pengeras suara,” ujar Faesal dalam keterangan resmi, Jumat (25/2/). “Menag justru mempersilakan penggunaan pengeras suara untuk mengumandangkan azan karena itu bagian dari syiar Islam,” sambungnya.
Menurutnya, dalam poin 3.b SE Menag jelas disebutkan bahwa pengumandangan azan menggunakan pengeras suara luar. Adapun volume suaranya, diatur sesuai kebutuhan dan maksimal 100 desibel (dB).
Desibel adalah satuan mengukur seberapa keras suatu suara dan telinga manusia memiliki batasan sehat saat mendengarnya.
Kemampuan telinga manusia terbatas sehingga suara terlalu bising yang didengarkan dalam waktu relatif lama dapat memberi dampak buruk bagi pendengaran. “Suara 100 dB itu sudah sangat keras sekali. Saya bahkan menduga, selama ini speaker di masjid dan musalla tidak sampai 100 dB volumenya. Jadi itu tidak masalah. Sila kumandangkan azan pada waktunya sebagai syiar agama,” tuturnya.
Sebelumnya, ramai dipemberitaan terkait Menteri Agama, Yaqut Cholil Quomas yang dalam pernyataannya menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.
Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta, Jamiluddin Ritonga mengatakan, pernyataan Gus Yaqut tak pantas disampaikan seorang menteri. "Sebagai pejabat publik, seharusnya bijak memilih diksi yang tidak menimbulkan multi tafsir," ujarnya.
Lebih lanjut, menurutnya menganalogikan toa masjid dengan gonggongan anjing memang terbuka menimbulkan multi tafsir. Disatu sisi, masjid tempat yang suci bagi ummat Islam, sementara disisi lain anjing dinilai binatang penuh najis. "Jadi, kontroversi itu terjadi karena dua hal. Pertama, Menteri Agama seperti kurang kerjaan sehingga harus mengatur penggunaan toa masjid. Padahal, hal itu sudah berlangsung ratusan tahun tanpa adanya gesekan yang berarti," tukas mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta.
Yang kedua, menganalogikan toa masjid dengan gonggongan anjing memang membuka persepsi yang beragam. Ragam persepsi inilah yang menimbulkan kontroversial di tengah masyarakat. "Karena itu, sebaiknya menteri tidak perlu mengatur hal-hal yang terlalu sensitif, apalagi berkaitan dengan agama. Sebagai pejabat publik juga harus aelektif memilih diksi agar tidak menimbulkan jarak persepsi yang lebar. Pejabat publik seharusnya berpikir dulu baru berbicara, bukan sebaliknya," pungkas Jamiluddin. (OL-12)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved