Menghapus Stigma Masyarakat Pesisir

Sumaryanto Bronto
21/5/2016 01:45
Menghapus Stigma Masyarakat Pesisir
(MI/SUMARYANTO)

SELAMA ini permukiman di pesisir identik dengan daerah kumuh dan jauh dari layak.

Itu tentu tidak mengherankan karena pemandangan yang ditawarkan memang membuat orang berkesimpulan seperti itu, misalnya, pemandangan rumah panggung yang digenangi air di Desa Percut, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara.

Kondisi itu tidak membuat urung seorang master komunikasi lingkungan lulusan University of Texas at El Paso (UTEP) Amerika Serikat untuk mendirikan rumah baca.

Ia Ismail, 36.

Dia sejak 2008 mendirikan Pilar Indonesia, lembaga nonprofit yang bekerja untuk pendidikan, lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat.

Sejak kuliah di Universitas Sumatra Utara, Ismail sering menjadi relawan di program-program pendidikan, sosial, konservasi alam, dan pemberdayaan masyarakat di Provinsi Sumatra Utara dan Aceh.

Pada 2012, Ismail bersama masyarakat pesisir Percut mendirikan program Rumah Baca Bakau untuk masyarakat pesisir di Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara.

"Desa Percut sangat dekat dengan Kota Medan. Seharusnya anak-anak di sini memiliki akses yang baik untuk menyambung ilmu. Sayangnya, rata-rata mereka memiliki motivasi yang rendah sehingga banyak anak nelayan yang putus sekolah, bahkan sebelum menamatkan SD," ujar Ismal.

Data Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) 2011 menyatakan minat baca masyarakat Indonesia tergolong rendah.

Hanya 1 dari 1.000 penduduk yang memiliki minat baca tinggi.

Padahal, menumbuhkan minat baca menjadi awal membentuk masyarakat pintar, cerdas, dan peduli terhadap kehidupan dan lingkungan sekitar.

Stigma masyarakat pesisir hidup dalam keterbelakangan, bodoh, miskin, dan cenderung pragmatis membuat banyak orang tidak peduli.

"Itulah yang membuat Rumah Baca Bakau berdiri menjadi 'pilar' mendorong dan membangun masyarakat yang cerdas dengan memberikan akses pelayanan terhadap buku dan ruang berkembang bagi anak-anak nelayan di pesisir Percut," ujar Ismail.

Misi

Di sebidang tanah yang disewa Ismail berdiri Rumah Baca Bakau. Itu merupakan taman bacaan masyarakat (TMB) yang menjadi pusat kegiatan anak-anak nelayan, pusat informasi sosial, dan pusat pelatihan bagi nelayan lokal untuk meningkatkan derajat kehidupan mereka.

Kegiatan lain yang diselenggarakan Rumah Baca Bakau ialah visual literasi, klub baca, kelas kreativitas, kelas bahasa Inggris untuk anak, kelas menggambar dan mewarnai, TBM keliling, pemutaran film, serta kelompok diskusi.

Pada 2014, Rumah Baca Bakau mendapat penghargaan TMB kreatif dan reaktif se-Indonesia dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

"Semua itu tak terlepas berkat ketekunannya serta kerja keras para relawan," ujar Ismail.

Para relawan itu tidak mendapatkan bayaran.

Sebaliknya, Ismail memberikan beasiswa kepada mereka untuk melanjutkan pendidikan.

Awalnya beasiswa itu dari uang pribadi Ismail.

Seiring berjalannya waktu, beberapa donatur memberikan beasiswa.

Saat ini ada tiga relawan yang mendapatkan beasiswa.

Selain itu, Rumah Baca Bakau juga mengemban misi lingkungan.

Hal itu dilakukan karena kualitas hutan bakau di sana tidak bagus.

Padahal, Percut Sei Tuan, menurut Ismail, merupakan salah satu titik singgah burung-burung migran dari Eropa.

"Menyelamatkan hutan bakau di sini juga penting bagi ekosistem dunia sehingga diharapkan melalui rumah baca ini kita bisa memberikan edukasi pentingnya penyelamatan hutan bakau," ujar Ismail.

Salah satu hal yang dilakukan untuk mencapai misi itu ialah pembibitan lebih dari 50 ribu bibit mangrove.

Rencananya, bibit-bibit itu akan ditanam di area yang rusak.

Saat ini ada empat jenis mangrove yang dalam proses pembibitan, yaitu Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata, Avicennia sp, dan Bruguiera sp.

Di samping itu, Ismail mengajari para istri nelayan mengolah buah mangrove menjadi sirup, selai, dan makanan kecil untuk menambah penghasilan.

Ismail juga mendorong mereka untuk mengolah limbah dari hasil laut, seperti cangkang dan kulit ikan, menjadi beragam barang kerajinan.

Saat ini Ismail dan kelompok ibu-ibu berupaya mengemas hasil olahan bakau lebih menarik sehingga dapat dipasarkan lebih luas lagi.

Menurut Ismail, permintaan hasil olahan dari bakau cukup tinggi.

Dengan hutan rakyat yang lestari, kawasan Percut menjadi daerah wisata.

Kegiatan wisata juga dapat menambah pendapatan warga.

Ismail juga mendorong nelayan untuk membudidayakan kepiting bakau demi meningkatkan ekonomi masyarakat. (M-5)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya