DBS untuk Atasi Parkinson

Eni Kartinah
04/5/2016 06:40
DBS untuk Atasi Parkinson
()

Parkinson memang bukan penyakit mematikan. Namun, penyakit itu menurunkan kualitas hidup penderitanya. Seperti itulah yang dialami mantan petinju Muhammad Ali, juga aktor Hollywood Michael J Fox. Dalam berbagai kesempatan, terlihat anggota tubuh mereka terus bergetar tanpa bisa dikontrol.

Pada kasus-kasus yang parah, getaran itu sedemikian hebat dan sebegitu seringnya terjadi sehingga penderita tidak bisa ke mana-mana. Mereka cenderung memilih berdiam di rumah karena getaran yang terjadi membuat mereka amat sulit berdiri, apalagi berjalan.

Dalam dunia medis, baku emas (gold standard) pengobatan parkinson dilakukan dengan konsumsi obat levodopa. Obat itu berfungsi meningkatkan produksi dopamin di otak. Dopamin merupakan salah satu zat penghantar impuls saraf (neurotransmiter). Dopamin berperan dalam kerja otak saat mengontrol gerakan.

“Dalam otak penderita parkinson, ada kekurangan dopamin sehingga muncul gejala-gejalanya, seperti timbul getaran pada anggota tubuh,” ujar dokter spesialis saraf dari Parkinson’s and Movement Disorder Siloam Hospitals Kebon Jeruk (SHKJ), Jakarta, Frandy Susatia, pada diskusi media di rumah sakit tersebut, bulan lalu.

Obat levodopa, lanjutnya, berfungsi menambah dopamin di otak. Namun, seiring dengan perjalanan penyakit, kemampuan levodopa tidak sebanding dengan laju kerusakan otak yang menyebabkan produksi dopamin terus berkurang. Karena itu, dosis pemberian levodopa perlu terus ditingkatkan.

“Nah, di titik inilah operasi DBS akan membantu pasien,” ujar Frandy.

DBS merupakan teknik untuk merangsang sel-sel penghasil dopamin di otak agar bekerja optimal kembali dalam memproduksi zat neurotransmiter itu. “Dengan demikian, gejala-gejala yang timbul bisa diatasi dan dosis obat dapat dikurangi.”

Teknik DBS dilakukan dengan menanam elektroda (cip) pada area tertentu di otak bagian dalam melalui operasi. Elektroda tersebut dihubungkan dengan kabel ke baterai yang diletakkan dalam dada sebagai sumber arus listrik. Arus listrik yang dialirkan ke cip itulah yang akan merangsang produksi dopamin.

“DBS telah disetujui Food and Drug Administration (FDA) Amerika untuk pengobatan sejumlah gangguan gerak, termasuk parkinson,” ujar dokter spesialis bedah saraf Made Agus Mahendra Inggas pada kesempatan sama.

Frandy menambahkan, berdasarkan penelitian, rata-rata pasien merasakan peningkatan perbaikan gerak atau motorik sekitar 75%-87% setelah dioperasi pada keadaan tanpa obat. “Parkinson’s and Movement Disorder SHKJ sendiri sudah mengoperasi 12 pasien dan sejauh ini kondisi mereka membaik,” imbuh Frandy.

Meski efektif, teknik DBS tidak bisa mengatasi semua kasus parkinson. Kasus parkinson yang sudah mencapai stadium lima (lihat grafik) tidak bisa ditangani dengan teknik DBS karena diperkirakan sel-sel penghasil dopamin dalam otaknya sudah rusak semua. Jadi, tidak ada lagi sel yang bisa dirangsang dengan DBS untuk memproduksi dopamin.

“Teknik DBS paling tepat diterapkan pada pasien parkinson stadium 3-4,” kata Frandy.

Penerapan DBS pada pasien stadium awal juga tidak tepat. Dikhawatirkan, gejala yang muncul di stadium awal itu bukan gejala parkinson, melainkan penyakit lain. “Padahal, teknik DBS ini diperuntukkan mengatasi parkinson,” kata Frandy.

Lagi pula, pengobatan parkinson memang harus didahului konsumsi obat levodopa. “Salah satu yang khas dari parkinson, setelah pengobatan dengan levodopa berjalan sekitar lima tahun, umumnya efektivitas obat akan menurun, dosisnya perlu ditingkatkan. Saat itulah DBS bisa membantu,” terang Frandy.

Fenomena gunung es
Pada kesempatan itu, Frandy juga menjelaskan penyakit parkinson yang awal kemunculannya kerap luput dari diagnosis dokter. Menurutnya, masyarakat umumnya mencurigai parkinson hanya jika seseorang mengalami gejala gemetar alias tremor.

“Padahal, jauh sebelum tremor itu muncul, banyak gejala lain yang muncul. Seperti berkurangnya penciuman, susah menelan, keringat berlebih, kaki bengkak, sulit buang air besar, sering kembung, napas tersengal-sengal, mudah cemas dan marah,” papar Frandy.

Ketidakpopuleran gejala itu memunculkan fenomena gunung es. Hanya sedikit pasien yang tertangani dengan tepat. Selebihnya, banyak yang tidak terdiagnosis.

“Bahkan, banyak pasien parkinson yang keliru berobat. Misalnya, karena mengalami problem sulit BAB dan kembung, mereka berobat ke dokter internis. Padahal, mereka mengalami gejala itu karena gerak usus mereka melambat. Perlu diketahui, parkinson tidak hanya memengaruhi gerak motorik, gerak organ dalam seperti usus pun ikut terganggu,” terang Frandy.

Karena itulah, ia menganjurkan agar kecurigaan terhadap parkinson tidak hanya didasarkan pada munculnya gejala tremor. (H-2)

eni@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya