Alam Liar dalam Bingkai Kehidupan dan Foto

Dzulfikri Putra Malawi
28/4/2016 08:30
Alam Liar dalam Bingkai Kehidupan dan Foto
(MI/BARY FATHAHILAH)

FAKSIMILE dan telepon menjadi alat yang sangat berperan untuk koordinasi dengan pihak asing yang memburu jasa seorang fotografer alam liar Indonesia, Riza Marlon.

Pria berusia 56 tahun itu pertama kali menjalankan tugas perdana dengan pihak asing bersama World Wild Fund (WWF) untuk meneliti keanekaragaman hayati dan mendokumentasikan kegiatan sosial di Taman Nasional Kerinci Seblat, Provinsi Jambi, pada Agustus 1994-April 1995.

Kegiatan bersama WWF tersebut rupanya berlanjut tiap tahun ke berbagai hutan di Sumatra hingga September 1996 mendokumentasikan dan meneliti habitat orang utan di Taman Nasional Gunung Leuser, Aceh.

Caca, begitulah ia akrab disapa, memang peneliti lulusan Fakultas Biologi Universitas Nasional angkatan 1982.

Kegemarannya melakukan perjalanan dan ekspedisi sejak 1982 bersama Mapala UI ke Luweng Ombo, Pacitan, Jawa Timur, dan berlanjut hingga ekspedisi lainnya memberi manfaat bagi dunia penelitian dan kefasihannya dalam mendokumentasikan gambar bersama kamera sejak SMA.

"Penyakit pecinta alam dan penelilti itu hanya satu, tidak bisa pegang kamera. Mereka banyak melakukan perjalanan dan sangat dekat sekali dengan alam. Sayangnya, tidak ada yang memotret dengan baik sehingga hasil dokumentasinya tidak bisa dimanfaatkan. Beruntung saya bisa memotret dan suka melakukan ekspedisi," ungkap Caca kepada Media Indonesia saat berbincang di rumahnya di kawasan Bogor, minggu lalu.

Laku lagkah Caca membantu WWF, UNESCO, dan beberapa lembaga sosial masyarakat (LSM) internasional lainnya seperti The Nature Conservacy (TNV) hingga Wildlife Conservation Society terekam dengan baik oleh televisi asing yang juga ingin menggunakan jasa Caca menjelajah hutan Indonesia untuk menemukan keanekaragaman hayati di dalamnya.

Ayah Aga Dimitri, 20, dan Christa Levina, 18, itu berkisah banyak belajar keprofesionalan dan etos kerja dari mereka.

Caca juga terlibat dalam mempersiapkan seluruh kebutuhan untuk film dokumenter yang dibuat TV Natural History New Zealand selama satu tahun (1997-1998) di cagar alam Gunung Tangkoko dan cagar alam Dumoga Bone di Sulawesi.

"Saya mempersiapkan segala kebutuhan mereka mulai logistik, pemandu lokal, hingga menentukan titik-titik hewan tertentu beraktivitas. Mereka berani bayar mahal. Waktu itu koordinasi cukup panjang. Mereka tanya saya kenal orang-orang di daftar mereka atau tidak sebagai bukti kredibilitas saya di alam bebas. Untungnya karena saya suka jalan jadi tahu daftar itu," kenang Caca.

Berkawan dengan warga

Berminggu-minggu caca dan tim TV New Zealand Natural History berada di hutan.

Mereka menjalankan rencana hingga mengubahnya beberapa kali karena kondisi cuaca dan lingkungan.

"Kalau cuaca memang tidak bisa dihindari, hal yang terpenting ialah berkawan dengan warga setempat agar tidak menyesatkan informasi," sambungnya.

Baginya, pengalaman dan dedikasi untuk fotografi alam liar tidak bertujuan untuk mendapatkan foto binatang secara eksklusif.

Di balik itu semua, ada pengalaman sangat berharga, yaitu mengenali kearifan lokal serta belajar untuk merencanakan semuanya dengan matang dari segi biaya, logistik, cuaca, dan sebagainya.

"Memotret itu bukan untuk bikin susah, medannya berat tapi sebisa mungkin kita buat nyaman dengan perencanaan matang," celoteh penulis buku Living Treasures of Indonesia (2010) itu.

Apalagi berada di alam liar terbatas dengan akses dan medan yang sulit.

Orang lokallah yang Caca andalkan untuk membantu.

Biasanya dengan kepala desa atau kepada adat setempat.

Hal yang terpenting, menurutnya, ialah menyamakan persepsi.

Untuk itu, ia membutuhkan visual yang jelas.

Kebanyakan orang lokal mengajak untuk masuk ke hutan itu pemburu.

"Mereka hanya perlu celah kecil untuk membidik. Waktu awal saya sering tertipu karena mereka bilang bisa bawa ke lokasi, tapi nyatanya saya tidak bisa memotret. Seiring waktu, akhirnya mereka paham bahwa saya butuh visual dan medan yang jelas untuk memotret binatang," paparnya.

Kemudian November 2005, dokumenter bertajuk It's Real yang digarap National Geographic TV & Film mendapuk Caca sebagai art director. Ia mengupas kehidupan hayati di Taman Nasional Kerinci, Sumatra.

Belum lama ini, 9-21 Maret 2016, Caca bersama sang istri yang juga kerap ikut dalam ekspedisi, Hendriati R Patty, bertolak ke Papua Barat dengan TNC untuk meneliti keragaman hayati di dataran Papua Barat yang bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata.

"Setahuku, foto itu sewa pakai dan kisaran harga relatif. Tergantung jenis satwa, (tingkat kesulitan, kelangkaan spesies), jumlah dan banyak parameter lainnya. Misalnya foto monyet ekor panjang yang mudah ditemui dan relatif banyak tentu beda dengan foto kanguru tanah yang lokasinya nun jauh di Papua dan makin sulit ditemui. Ada juga yang sewa pakai eksklusif untuk periode waktu tertentu, tentu harga lebih tinggi," tambah perempuan yang akrab disapa Wita itu.

Saat ini, kemampuannya memperluas jaringan sudah sangat mudah dibantu teknologi.

Apalagi dirinya yang dianggap sebagai fotografer senior alam liar juga menjadi tokoh penting di setiap komunitas yang memiliki minat sama.

Tak jarang kesempatan itu pun dipakai Caca untuk menjadi akses di setiap daerah guna berekspedisi bersama. (M-2)

BIODATA

Nama: Riza Marlon
TTL: Jakarta, 12 Januari 1960
Istri: Hendriati R Patty
Anak:
- Aga Dimitri (20),
- Christa Levina (18)

FORMAL ORGANIZATIONS
- LENSA MASYARAKAT NUSANTARA FOUNDATION.
- MASYARAKAT FOTOGRAFI INDONESIA/FORUM FOTOGRAFI INDONESIA.

FORMAL EDUCATION
- Faculty of Biology, National University, Jakarta (1991)

PENGALAMAN KERJA DENGAN ASING
- Sulawesi, Ekspedisi Trekforce, Inggris, ke TN Lore Lindu, Cagar Alam Morowali, TN Rawa Aopa, dan Cagar Alam Bantimarung (Juli-September 1992)
- Sumatera, Habitat Orangutan di TN Gunung Leuser, Program Slide untuk WWF (September 1996)
- Papua, TN Wasur, Cagar Alam Gunung Arfak, TN Lorentz, dan Biak, Dokumentasi Slide untuk WWF (November-Desember 1997)
- Papua, Suaka Margasatwa Jamursba Medi (Sorong) dan Cagar Alam Gunung Arfak, Dokumentasi Slide untuk WWF (September-Oktober 1998)
- Sulawesi, Cagar Alam Tangkoko dan TN Lore Lindu, Dokumentasi Slide untuk The Nature Conservancy (Oktober-November 2001)
- Kalimantan (TN Tanjung Puting), Sumatera (Pulau Siberut), dan Jawa (TN Ujung Kulon dan TN Gede Pangrango), Dokumentasi Slide untuk UNESCO (Februari-Maret 2004)
- Halmahera, Maluku Utara, dokumentasi keanekaragaman hayati untuk Birdlife Indonesia (Mart, 2007)
- dan lain-lain

TV dan FILMS
- Sulawesi Island: Tangkoko Nature Reserve sebuah Film Dokumenter untuk TV New Zealand Natural History (Agustus 1997 & September-Oktober 1997).
- Sulawesi Island: Dumoga Bone Nature Reseve tentang Film Dokumenter dengan TV New Zealand Natural History (Agustus 1998).
- Film Dokumenter It's a Real untuk TV dan Film National Geographic sebagai Art Director (November 2005).
- Taman Safari Indonesia : Film Documentary for National Geographic TV & Film, as animal expert.

BUKU
- LIVING TREASURES of INDONESIA (November 2010)
- Buku Panduan Visual dan Identifikasi Lapangan 107+ Ular Indonesia (Februari 2014)

PAMERAN FOTO TUNGGAL
- NATURE on CANVAS: Biodiversity of Indonesia, Grand Indonesia, Jakarta (November 2010)
- Hidden Treasures Of Indonesia, Senayan City, Jakarta (May 2011)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya