Headline
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Undang-Undang Cipta Kerja dituding sebagai biang keladi. Kini juga diperparah Peraturan Menteri Perdagangan No 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor.
Maduro menyamakan pemilihan umum kali ini dengan salah satu pertikaian militer paling terkenal dalam perjuangan Venezuela untuk merdeka dari Spanyol.
BAGAIMANAKAH kita mengetahui kondisi iklim dan lingkungan di masa lampau? Kondisi iklim dan lingkungan di masa lampau ternyata terekam pada berbagai media, dari lapisan-lapisan es di kutub hingga lapisan-lapisan sedimen di lautan dan danau.
Berada di daerah khatulistiwa, Indonesia selama ini dianggap memiliki kondisi iklim dan lingkungan sama dari waktu ke waktu. Padahal, Indonesia terletak tepat di Indo-Pacific Warm Pool (IPWP) yang merupakan bagian samudra yang paling tinggi suhunya.
Fluktuasi luasan di IPWP memengaruhi pola curah hujan di seluruh dunia. Belum lagi, secara geologi, Indonesia adalah tempat yang sangat aktif dengan banyaknya gunung api yang letusannya bisa memengaruhi iklim global. Sebab itu, Indonesia menyimpan daya tarik untuk kajian iklim purba.
Salah satu wilayah yang berpotensi menjadi tempat kajian iklim purba ialah Danau Towuti di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan. Dengan luas permukaan 560 km2 atau kira-kira seluas wilayah DKI Jakarta, danau ini menjadi yang kedua terluas di Tanah Air.
Pada 2005, penulis (Satria) mulai berkomunikasi dengan mitranya, Prof James Russell dari Brown University, Amerika Serikat, untuk melakukan kajian kecil di Danau Towuti. Kajian ini untuk mengetahui kelayakan kajian iklim purba atau paleoklimat dengan memanfaatkan sedimen dari danau yang memiliki kedalaman 200 meter itu.
Satria dan James menyurvei secara langsung pada 2007 dan memetakan keberadaan sedimen di Danau Towuti dengan peralatan CHIRP (compressed high-intensity radiated pulse) serta mengambil contoh sedimen di permukaan. Survei yang lebih besar dilakukan pada 2010 dengan menggunakan peralatan airgun seismic untuk memetakan sedimen di bawah permukaan danau serta piston core untuk mendapatkan contoh sedimen yang lebih dalam.
Hasil survei menunjukkan adanya lapisan sedimen setebal lebih dari 150 m di beberapa cekungan. Sedimen dari kedalaman 10 m sendiri diketahui berusia sekitar 60 ribu tahun. Layaknya lembaran-lembaran buku sejarah maka lapisan-lapisan sedimen dari danau ini berpotensi menyimpan rekaman iklim dan sejarah lingkungannya sejak 900 ribu tahun lalu.
Pada 2012, Satria dan James menggelar lokakarya internasional di Bandung, Jawa Barat, untuk mendiskusikan kelayakan pengeboran sedimen Danau Towuti. Lokakarya ini dihadiri oleh Bupati Kabupaten Luwu Timur, para peneliti dari LIPI dan perguruan-perguruan tinggi, serta perwakilan dari PT Vale Indonesia Tbk (perusahaan tambang nikel yang berlokasi di Sorowako).
Setelah pembahasan mendalam, para peserta lokakarya bersepakat untuk meneruskan rencana pengeboran sedimen Danau Towuti dan mengajukan proposal pendanaan pada lembaga-lembaga pendanaan riset, di antaranya ICDP (Inter Continental Scientific Drilling Program). Para peneliti yang akan terlibat juga mengajukan proposal pendanaan kepada lembaga pendanaan riset di negaranya masing-masing.
Pada 2015, dengan dukungan logistik dari PT Vale Indonesia Tbk, para peneliti dari berbagai negara di bawah pimpinan James dan Satria berhasil melaksanakan TDP (Towuti Drilling Project). Kerja selama 3 bulan dari para peneliti Institut Teknologi Bandung, Universitas Hasanuddin, Universitas Halu Oleo, Universitas Sam Ratulangi, dan mitra peneliti asing (dari Amerika Serikat, Jerman, dan Swiss) ini berhasil mendapatkan sedimen dari tiga lokasi di Danau Towuti dengan kedalaman hingga 170 m.
Sedimen yang diperoleh selanjutnya diteliti di berbagai perguruan tinggi dengan melibatkan berbagai bidang keilmuan, dari geologi, geofisika, geokimia, geobiomikrobiologi, hingga palinologi (ilmu tentang polen atau serbuk sari).
Selama pelaksanaan TDP, para peneliti berinteraksi erat dengan masyarakat di sekitar danau. Para peneliti juga memberi kesempatan kepada siswa-siswa sekolah, tokoh-tokoh masyarakat, juga anggota DPRD serta pejabat pemerintah untuk mengunjungi tongkang (barge) tempat proses pengambilan sedimen. Para peneliti juga berinteraksi sosial bersama dengan masyarakat setempat melalui acara buka puasa bersama serta acara sosial lainnya. Bagi para peneliti asing, kesempatan untuk melakukan penelitian di Danau Towuti ini menjadi pengalaman yang unik.
Cermin kondisi samudra 3 miliar tahun lalu
Informasi dari kajian sedimentologi dan geokimia menunjukkan bahwa Danau Towuti terbentuk sekitar 1 juta tahun lalu saat aktivitas tektonik yang cepat menurunkan permukaan tanah yang semula merupakan rawa-rawa.
Meskipun sejarah perubahan iklim dan lingkungan masih diteliti, kajian terhadap 10 m sedimen termuda yang mewakili perubahan iklim pada 60 ribu tahun lalu menunjukkan bahwa lingkungan di sekitar danau tidak selalu sama. Dalam kurun waktu 31 ribu-17 ribu tahun lalu, daerah sekitar danau ternyata beriklim kering dan didominasi oleh padang rumput atau sabana yang sangat berbeda dengan hutan hujan tropis saat ini. Periode tersebut bertepatan dengan zaman es terakhir saat permukaan air laut turun secara global dan Pulau Jawa, Pulau Sumatra, serta Pulau Kalimantan menyatu dengan daratan Asia.
Kondisi geokimia pada sedimen dan air Danau Towuti juga ternyata sangat unik. Bagian dalam danau (> 130 m) ternyata bebas dari oksigen terlarut, tapi sangat kaya akan besi terlarut.
Kondisi ini ditengarai sama seperti kondisi samudra di Bumi pada 3 miliar tahun yang lalu. Saat itu Matahari tidak seterang sekarang atau dikenal sebagai fenomena faint young sun paradox. Untuk mencegah Bumi agar tidak membeku maka atmosfer Bumi saat itu haruslah sangat kaya dengan gas-gas rumah-kaca (greenhouse gases).
Pertanyaan besar kemudian bagi para ilmuwan ialah dari mana asal gas-gas rumah kaca tersebut? Kajian terhadap sedimen Danau Towuti nyatanya memberikan petunjuk tentang hal ini. Mikroba pada sedimen Danau Towuti menghasilkan metana yang merupakan gas rumah kaca utama. Temuan penting ini telah dipublikasikan di jurnal ilmiah terkemuka Nature Communication (Friese dkk., 2021).
Hingga saat ini, penelitian terhadap sedimen dari Danau Towuti masih berlangsung. Informasi yang diperoleh secara bertahap dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah. Namun, memang masih perlu waktu dan kerja panjang, khususnya dari ilmuwan Indonesia, untuk mengungkap lebih banyak informasi dari sedimen Danau Towuti.
Negeri ini sebetulnya sangat kaya akan danau-danau yang tidak saja indah, tapi juga menarik untuk dikaji secara ilmiah. Mudah-mudahan lebih banyak lagi ilmuwan Indonesia khususnya generasi muda untuk mempelajari danau-danau ini, termasuk upaya-upaya pelestariannya. (M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved