Akses Perempuan atas SDA Timpang

Iqbal Musyaffa
22/4/2016 06:30
Akses Perempuan atas SDA Timpang
(ANTARA/ANDREAS FITRI ATMOKO)

PEREMPUAN Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim lantaran sebagian besar mata pencaharian mereka sangat bergantung pada sumber daya alam (SDA). Perempuan juga bertanggung jawab untuk mengamankan air, makanan, dan bahan bakar demi keberlangsungan hidup keluarga dan komunitas mereka.

Akan tetapi, perempuan selama ini masih mengalami ketimpangan dalam akses, kontrol, dan proses pengambilan keputusan untuk pengelolaan SDA. Karena itu, diharapkan pemerintah dapat meningkatkan akses dan pengelolaan itu kepada perempuan agar ikut berperan mengontrol SDA.

Hal itu mengemuka pada seminar lingkungan dalam memperingati Hari Bumi yang jatuh pada 22 April, di Jakarta, Selasa (19/4).

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Industri dan Perdagangan Internasional Laksmi Dhewanthi menyampaikan sebenarnya secara konstitusi dan perundang-undangan, Indonesia telah menegaskan kesamaan hak warga negara baik laki-laki maupun perempuan, termasuk dalam pengelolaan SDA.

Hal itu antara lain diatur dalam UUD 1945 pasal 28 dan UU Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Diskriminasi terhadap Perempuan.

“Itu artinya, pemerintah memandang persamaan hak akses perempuan atas SDA penting dilaksanakan terutama dalam program pengendalian perubahan iklim sebab perempuan yang menjadi korban paling besar dampak perubahan iklim,” ujar Laksmi.

Dalam pengambilan kebijakan terkait dengan pembangunan nasional pun perlu ada partisipasi penuh dan adil antara laki-laki dan perempuan agar bersama-sama berupaya memberantas kemiskinan. “Namun nyatanya perempuan kerap terpinggirkan dan terlibat dalam kemiskinan akibat pembangunan,” kata Laksmi.

Dia memberikan contoh, perempuan yang tinggal di dekat lokasi industri besar akan terdampak rusaknya kualitas tanah, air, dan lingkungan.

“Padahal dalam konteks perlindungan dan pemberdayaan SDA, laki-laki dan perempuan memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengelola lingkungan mereka.”

Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Puspa Dewy menyampaikan, walaupun sudah ada kebijakan-kebijakan yang menjamin perlindungan hak perempuan dalam pengelolaan SDA, faktanya masih banyak hak perempuan dalam pengelolaan SDA yang terlanggar.

Menurut dia, masifnya proyek di sektor kehutanan, perkebunan skala besar, aktivitas pertambangan, termasuk proyek iklim yang mengambil ruang wilayah kelola masyarakat telah berdampak pada pembatasan dan hilangnya akses dan kontrol perempuan atas SDA dan sumber kehidupan mereka.

“Perempuan kehilangan mata pencaharian, ruang-ruang sosial, budaya, pengetahuan lokal, dan politik mereka. Itu semua karena SDA dan sumber kehidupan mereka telah dikuasai oleh para investor dan perusahaan besar,” pungkas Puspa.

Salah urus
Ketua Umum Perempuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Devi Anggraini menyampaikan perempuan khususnya perempuan adat memiliki posisi yang tegas dan pernah disampaikan pada UNFCCC COP 21 di Paris, Prancis, tahun lalu.

“Di sana, kami tegaskan bahwa perempuan adat kini tengah menyaksikan perubahan drastis pada wilayah kelola dan sumber-sumber hidupnya dalam skala luas,” jelasnya.

Ladang, kebun, dan hutan, lanjut dia, seketika berubah menjadi konsesi perkebunan monokultur dan pertambangan. Kebakaran hutan yang melanda pun telah merusak sumber-sumber kehidupan perempuan, tetapi perempuan adat dituding sebagai salah satu penyebab kebakaran hutan.

Padahal, kata Devi, pada masyarakat adat ada aturan yang ketat terkait dengan pengelolaan lingkungan. Apabila ada pihak yang merusak tanaman, bisa mendapatkan hukuman berupa pengasingan dari kelompoknya. Itu lantaran lingkungan sangat penting artinya bagi kehidupan mereka.

“Dengan kata lain, negara dalam hal ini salah urus dalam pengelolaan sumber-sumber hidup dan wilayah adat lantaran menyumbang percepatan terjadinya perubahan iklim. Meski putusan Mahkamah Konstitusi (MK) telah memenangkan bahwa hutan adat bukan lagi hutan negara, nyatanya konsesi masih beroperasi di dalam wilayah adat.”

Sementara itu, Direktur Program Ibu Inspirasi Kopernik Nonie Kaban mengatakan pihaknya kini sedang berupaya menunjukkan bahwa perempuan merupakan pemeran sekaligus solusi pemerataan energi di Indonesia yang merupakan bagian penting dari penanganan perubahan iklim.

“Karena itu, program Ibu Inspirasi kami gulirkan untuk memberdayakan perempuan Indonesia agar jadi agen teknologi ramah lingkungan. Sejak 2011 kami bekerja sama dengan lebih dari 400 ibu inspirasi di berbagai lokasi khususnya Aceh Utara, Tuban, Bojonegoro, Lombok Timur, Timor Barat, Flores, dan Sumba,” pungkas Nonie. (S-4)

iqbal@mediaindonesia.com



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya